One of these days, I found myself not interested in any kind of thing. I do not like to do stuff, I am bored and do not have sales idea. I am just particularly not wanting to do anything. But not doing anything is sucks. Like, you are sitting alone staring at the blank space, feeling the breeze air, hearing the kids or adults talking but not paying attention to them. Then, life goes on. Nobody try to get in your mess and vice versa. It just feel empty. Empty shell.
Hanya karena seseorang pintar, tidak berarti mereka adalah makhluk yang suka belajar. Pernah kan ngeliat tokoh-tokoh di drama atau komik dimana tokoh tersebut sama sekali tidak belajar namun mendapat peringkat atau nilai yang baik?
Bisa dibilang gua merupakan anak yang cukup pintar. (eaaaa) Tapi gua tidak suka yang namanya 'pelajaran' dimana gua harus ngehafal sesuatu, sesuatu dan sesuatu. Apalagi pembelajaran di sekolah. Beuhhhh. Gua gak demen tuh.
Sewaktu masih sekolah dasar, gua pernah duduk sebangku dengan seorang cowok. Cowok itu kecil, kurus, tipikal anak SD banget. Dia lumayan pintar dan cukup kutu buku. Suatu hari, saat pelajaran matematika -pelajaran favoritnya-, gua yang tidak niat belajar dengan tekun menggambar hal-hal gak jelas seperti orang-orangan yang proporsinya seperti zombie yang kepalanya patah. Melihat gua yang kurang kerjaan menggambar di saat pelajaran matematikan, cowok itu - sebut saja Wibawa - menegur gua.
"Heiii, kamu kenapa sih? Masa pelajaran mate, kamu malah gambar-gambar. Gak jelas lagi gambar apa."
Gua cuma ngeliat dia tanpa membalas apa-apa.
Wibawa pun berusaha mengajak gua supaya mau belajar matematika. Gua menolak ajakan Wibawa. Wibawa makin berusaha sampai dia rela mengatakan,
"Yaudah deh. Nih, gua kasih seribu. Tapi lu jangan gambar lagi ya! Fokus sama pelajaran..."
Gua ngeliat Wibawa dengan tatapan 'Jangan mengada-ada deh'.
(Gua lupa apakah gua mengambil seribu rupiah itu atau tidak.)
Akhir kata, semenjak dari kecil, gua tuh gak suka belajar. Rasanya lebih baik gua gambar-gambar atau apalah gitu. Ketika gua ujian tengah semester pas SD juga, gua tidak pernah belajar pelajaran matematika dan bahasa Indonesia dengan alasan 'Apa yang perlu di pelajari ?' Karena di pelajaran tersebut tidak ada hafalan. Tapi untungnya nilai gua masih bagus-bagus saja sewaktu itu.
Sialnya, masuk ke sekolah menengah pertama, yang namanya 'tidak belajar' akan hidup sengsara. Masuk ke SMP, awal-awalnya gua rajin. Saking rajinnya gua juara 3 besar dan bahagia setengah mati. Gua sampai nanya ke teman gua, "Eh, kalo juara 3 dapat beasiswa ya????" Tapi sayangnya hanya juara 1 sampai 3 di semester kedua yang dapat beasiswa. Gua tidak. Di semester dua, juara gua turun menjadi lima. Lalu tahun berikutnya turun menjadi tujuh. Lalu naik turun naik turun naik turun.
Hingga sampai pada masa SMA kelas dua semester dua dimana nilai gua terjun payung. Pada saat itu, keinginan gua untuk sekolah sudah tidak ada. Di dalam pikiran sudah tertanam, 'Untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi? Toh nanti pada saat kamu kerja, pelajaran-pelajaran ini tidak akan dipakai lagi.' Gua pun menjadi anak malas yang terancam tidak lulus karena juara sepuluh dari belakang. Hal paling parah yang pernah gua lakuin selama sekolah adalah tidak belajar. Khususnya pada saat UN, dimana gua hanya belajar secuil dan akhirnya berpaku pada kunci jawaban. Benar atau tidak pun, gua sama sekali gak peduli lagi. Hidup gua tuh udah lecek, lecek, dan hampir koyak kalau tidak dibenari lagi.
Ketika gua masuk ke dunia kerja, semua yang gua 'pelajari' dari sekolah SD, SMP, atau SMA tidak ada yang gua pakai. Kecuali hitungan dasar matematika kali-bagi-tambah-kurang, bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Pelajaran seperti biologi, kimia, fisika, rumus matematika yang jelimet, hafalan sejarah, hafalan geografi, itu semua tidak gua pakai. Benar seperti dugaan gua, 'Untuk apa gua belajar sesuatu susah payah yang tidak akan gua gunakan untuk masa yang akan mendatang?' Gua pikir gua benar akan hal itu. Gua pikir tidak ada gunanya.
Namun ya begitulah.
Gua masih bersyukur gua bisa bersekolah. Karena hanya di sekolah-lah, gua bisa punya temen. Jujur gua gak punya teman lain selain teman di sekolah atau di kampus. Di rumah gua yang dulu, gua gak punya tetangga dekat yang bisa di ajak bermain bersama. Umumnya mereka terlalu muda, atau umumnya mereka terlalu 'sua pa' untuk di ajak bermain. Gua tumbuh menyendiri. Pulang sekolah menyendiri. Makan dirumah menyendiri. Kerjain tugas juga menyendiri. Ketika gua di Jakarta, sayangnya gua juga tetap menyendiri. Pulang sekolah menyendiri. Makan dirumah menyendiri. Libur juga menyendiri. Terkadang gua bosan dengan siklus hidup yang seperti ini. Rasanya ingin ada gebrakan di meja dan teriakan, 'Ayo kita pergi!'
Gua pernah (terkadang selalu) 'tidak ingin menyendiri'. Tapi apa daya gua ketika yang lain malah ingin menyendiri?
Suatu kali gua mengajak teman-teman kampus gua. Gua ajak di grup untuk pergi karaoke. Tau apa yang terjadi? Tidak ada satupun orang yang ngejawab bbm gua. Gua yang galau mencoba mengajak cowok cabe-cabean di kelas gua untuk meramekan grup. Dan apa yang terjadi? Ketika gua yang bbm tidak ada yang menjawab, begitu cowok itu, cabe-cabean, bbm semua manusia muncul. Apa lu gak merasa keki? Walaupun gua yang nyuruh Sam ramekan grup, tapi menerima kenyataan bahwa gua seperti orang yang tidak layak, tuh NYESEK. Rasanya ingin membalikkan meja dan teriak, "Giliran dia bbm dibalas, giliran gua bbm gak ada yang balas. Kalian pikir gua apa? Nenek-nenek tukang pijit? Anjirrrrrrr!"
Emangnya susah banget ya untuk ngejawab, "Aduh gua gak bisa ikut." Atau "Gak mau ah. Males" Atau hanya sekedar "Oh."
Itu jauh lebih baik daripada gak ngejawab sama sekali.
Ckckckc...
Itu masih mending gua chat di bbm karena tidak ada tulisan read.
Bayangin coba kalo gua chat di grup LINE?
"Hey, mau out gak?" read by 21. Gak ada yang jawab.
Kalau itu terjadi mah... sudahlah. Gak ada harapan lagi. Lebih baik delete semua contact lu aja. Capek kan?
Parahnya adalah ketika lu akhirnya jalan sendiri, trus update lokasi di socmed. Terus temen lu comment, "Ih gak ajak-ajak!" Kalau itu sempat terjadi, HAHA BAKAR TEMEN LU!! ANJIRRR DI AJAK GAK DI JAWAB. GILIRAN PERGI SENDIRI DI KOMEN-KOMEN. .ANJINGGG. MEREKA PIKIR KITA APA. SHIT SAMA MEREKA. PLETAKKAN PALA MEREKA! Jangan pandang bulu. Bikin emosi jiwa aja. Wah...
EMOSI PEK!
URGH!
Hanya karena seseorang pintar, tidak berarti mereka adalah makhluk yang suka belajar. Pernah kan ngeliat tokoh-tokoh di drama atau komik dimana tokoh tersebut sama sekali tidak belajar namun mendapat peringkat atau nilai yang baik?
Bisa dibilang gua merupakan anak yang cukup pintar. (eaaaa) Tapi gua tidak suka yang namanya 'pelajaran' dimana gua harus ngehafal sesuatu, sesuatu dan sesuatu. Apalagi pembelajaran di sekolah. Beuhhhh. Gua gak demen tuh.
Sewaktu masih sekolah dasar, gua pernah duduk sebangku dengan seorang cowok. Cowok itu kecil, kurus, tipikal anak SD banget. Dia lumayan pintar dan cukup kutu buku. Suatu hari, saat pelajaran matematika -pelajaran favoritnya-, gua yang tidak niat belajar dengan tekun menggambar hal-hal gak jelas seperti orang-orangan yang proporsinya seperti zombie yang kepalanya patah. Melihat gua yang kurang kerjaan menggambar di saat pelajaran matematikan, cowok itu - sebut saja Wibawa - menegur gua.
"Heiii, kamu kenapa sih? Masa pelajaran mate, kamu malah gambar-gambar. Gak jelas lagi gambar apa."
Gua cuma ngeliat dia tanpa membalas apa-apa.
Wibawa pun berusaha mengajak gua supaya mau belajar matematika. Gua menolak ajakan Wibawa. Wibawa makin berusaha sampai dia rela mengatakan,
"Yaudah deh. Nih, gua kasih seribu. Tapi lu jangan gambar lagi ya! Fokus sama pelajaran..."
Gua ngeliat Wibawa dengan tatapan 'Jangan mengada-ada deh'.
(Gua lupa apakah gua mengambil seribu rupiah itu atau tidak.)
Akhir kata, semenjak dari kecil, gua tuh gak suka belajar. Rasanya lebih baik gua gambar-gambar atau apalah gitu. Ketika gua ujian tengah semester pas SD juga, gua tidak pernah belajar pelajaran matematika dan bahasa Indonesia dengan alasan 'Apa yang perlu di pelajari ?' Karena di pelajaran tersebut tidak ada hafalan. Tapi untungnya nilai gua masih bagus-bagus saja sewaktu itu.
Sialnya, masuk ke sekolah menengah pertama, yang namanya 'tidak belajar' akan hidup sengsara. Masuk ke SMP, awal-awalnya gua rajin. Saking rajinnya gua juara 3 besar dan bahagia setengah mati. Gua sampai nanya ke teman gua, "Eh, kalo juara 3 dapat beasiswa ya????" Tapi sayangnya hanya juara 1 sampai 3 di semester kedua yang dapat beasiswa. Gua tidak. Di semester dua, juara gua turun menjadi lima. Lalu tahun berikutnya turun menjadi tujuh. Lalu naik turun naik turun naik turun.
Hingga sampai pada masa SMA kelas dua semester dua dimana nilai gua terjun payung. Pada saat itu, keinginan gua untuk sekolah sudah tidak ada. Di dalam pikiran sudah tertanam, 'Untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi? Toh nanti pada saat kamu kerja, pelajaran-pelajaran ini tidak akan dipakai lagi.' Gua pun menjadi anak malas yang terancam tidak lulus karena juara sepuluh dari belakang. Hal paling parah yang pernah gua lakuin selama sekolah adalah tidak belajar. Khususnya pada saat UN, dimana gua hanya belajar secuil dan akhirnya berpaku pada kunci jawaban. Benar atau tidak pun, gua sama sekali gak peduli lagi. Hidup gua tuh udah lecek, lecek, dan hampir koyak kalau tidak dibenari lagi.
Ketika gua masuk ke dunia kerja, semua yang gua 'pelajari' dari sekolah SD, SMP, atau SMA tidak ada yang gua pakai. Kecuali hitungan dasar matematika kali-bagi-tambah-kurang, bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Pelajaran seperti biologi, kimia, fisika, rumus matematika yang jelimet, hafalan sejarah, hafalan geografi, itu semua tidak gua pakai. Benar seperti dugaan gua, 'Untuk apa gua belajar sesuatu susah payah yang tidak akan gua gunakan untuk masa yang akan mendatang?' Gua pikir gua benar akan hal itu. Gua pikir tidak ada gunanya.
Namun ya begitulah.
Gua masih bersyukur gua bisa bersekolah. Karena hanya di sekolah-lah, gua bisa punya temen. Jujur gua gak punya teman lain selain teman di sekolah atau di kampus. Di rumah gua yang dulu, gua gak punya tetangga dekat yang bisa di ajak bermain bersama. Umumnya mereka terlalu muda, atau umumnya mereka terlalu 'sua pa' untuk di ajak bermain. Gua tumbuh menyendiri. Pulang sekolah menyendiri. Makan dirumah menyendiri. Kerjain tugas juga menyendiri. Ketika gua di Jakarta, sayangnya gua juga tetap menyendiri. Pulang sekolah menyendiri. Makan dirumah menyendiri. Libur juga menyendiri. Terkadang gua bosan dengan siklus hidup yang seperti ini. Rasanya ingin ada gebrakan di meja dan teriakan, 'Ayo kita pergi!'
Gua pernah (terkadang selalu) 'tidak ingin menyendiri'. Tapi apa daya gua ketika yang lain malah ingin menyendiri?
Suatu kali gua mengajak teman-teman kampus gua. Gua ajak di grup untuk pergi karaoke. Tau apa yang terjadi? Tidak ada satupun orang yang ngejawab bbm gua. Gua yang galau mencoba mengajak cowok cabe-cabean di kelas gua untuk meramekan grup. Dan apa yang terjadi? Ketika gua yang bbm tidak ada yang menjawab, begitu cowok itu, cabe-cabean, bbm semua manusia muncul. Apa lu gak merasa keki? Walaupun gua yang nyuruh Sam ramekan grup, tapi menerima kenyataan bahwa gua seperti orang yang tidak layak, tuh NYESEK. Rasanya ingin membalikkan meja dan teriak, "Giliran dia bbm dibalas, giliran gua bbm gak ada yang balas. Kalian pikir gua apa? Nenek-nenek tukang pijit? Anjirrrrrrr!"
Emangnya susah banget ya untuk ngejawab, "Aduh gua gak bisa ikut." Atau "Gak mau ah. Males" Atau hanya sekedar "Oh."
Itu jauh lebih baik daripada gak ngejawab sama sekali.
Ckckckc...
Itu masih mending gua chat di bbm karena tidak ada tulisan read.
Bayangin coba kalo gua chat di grup LINE?
"Hey, mau out gak?" read by 21. Gak ada yang jawab.
Kalau itu terjadi mah... sudahlah. Gak ada harapan lagi. Lebih baik delete semua contact lu aja. Capek kan?
Parahnya adalah ketika lu akhirnya jalan sendiri, trus update lokasi di socmed. Terus temen lu comment, "Ih gak ajak-ajak!" Kalau itu sempat terjadi, HAHA BAKAR TEMEN LU!! ANJIRRR DI AJAK GAK DI JAWAB. GILIRAN PERGI SENDIRI DI KOMEN-KOMEN. .ANJINGGG. MEREKA PIKIR KITA APA. SHIT SAMA MEREKA. PLETAKKAN PALA MEREKA! Jangan pandang bulu. Bikin emosi jiwa aja. Wah...
EMOSI PEK!
URGH!