Setahun yang lalu, mertua gua mau beli rumah. Lalu dia meminta pendapat kami semua. Setelah berpikir sebentar gua pun memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah rumah ini untuk investasi?"
Mertua gua pun menjawab, "Yaaa untuk investasi. Tapi kalau mau tinggal juga bisa!"
Gua pun berpendapat bahwa lokasi rumah tersebut terlalu jauh untuk ditempati. Lebih baik, uang tersebut dipakai untuk membeli saham. Pada saat itu, gua merasa investasi di saham lebih baik daripada membeli rumah.
Pendapat gua tentu saja dianggap sebelah mata oleh mertua gua. Karena di mindset mereka, saham merupakan suatu hal tabu yang tidak pantas untuk dibahas. Bahkan sebelumnya, gua pernah di ceramahin tentang betapa buruknya saham dan diingatkan untuk tidak pernah bermain-main dengan saham.
Fast forward ke sekarang, look at what they did?
Mertua gua beli saham. Dia melihat anaknya bermain saham dan prospeknya terlihat bagus. Lalu ia pun ikutan.
Ketika mertua gua ikutan beli saham, Troton menyindirnya. "Loh kok kamu beli saham? Kan kamu sendiri yang bilang jangan main." Yang tentu saja dibalas dengan, "Ya kan gua beli nya dikit aja."
Tentu di saat itu, gua sakit hati. HAHAHA. Tapi gak gimana-gimana. Cuman merasa sedih dan tak dianggap aja. Memang betul gua merupakan orang yang pelupa. Kemarin makan aja udah gak ingat. Tapi gua gak lupa bagaimana dia gak setuju dengan gua yang pro tentang saham.
Gua bukan orang yang paham betul tentang saham. Gua masih perlu banyak belajar. Nominal yang gua gunakan untuk membeli saham juga masih sedikit. Gua ingat saat dia baru bermain saham, dia bertanya ke gua tentang berapa banyak saham yang gua beli. Tentunya gua jawab dengan 'gua beli hanya sedikit'. Yang kemudian di timpal oleh Troton dengan, "Liat dong brenda, beli saham cuman ratusan ribu aja. Gak banyak-banyak." Well, sebetulnya benar-benar aja, memang gua beli saham gak banyak. Terkadang beli ratusan ribu, namun terkadang bisa juga sampai jutaan. Tapi gua gak mau terkesan punya banyak uang, jadi gua selalu bilang 'gua beli saham sedikit'. Which is mungkin jadi kesalahpahaman di mertua gua, dan dia beneran menganggap modal gua emang cuman ratusan ribu. LOL. Gua gak tau dia percaya atau engga, tapi gua merasa dia beneran berpikiran seperti itu. Dan merasa levelnya tidak pantas dengan gua. Oh my silly me. Gua jadi merasa dia mengganggap gua lalat kecil.
Ketika gua merekomendasikan untuk beli saham, tidak digubris olehnya, malah ditentang.
Ketika anaknya main saham, dia ikut main tanpa di ajak.
Am I the only one yang merasa seperti lalat kecil yang tidak dianggap?
Mertua gua yang awalnya tidak pro dengan saham juga berdampak pada Troton. Troton juga enggan beli saham. Tapi lebih parah lagi. Dia seperti enggan untuk berinventasi apapun itu bentuknya.
Sungguh. Gua tidak habis pikir.
Ketika masih pacaran, gua selalu memintanya untuk berinventasi. Karena gua sadar diri, usia kami masih muda dan investasi merupakan sesuatu hal yang luar biasa untuk di jalankan saat ini. Tapi, sayangnya, membujuk Troton untuk berinventasi sampai mulutku berbusa-busa dan badanku kejang-kejang, tidak berhasil membuatnya setuju. I feel ... worthless. Gua merasa tidak berguna, tidak dihargai dan tidak berarti. Gua kecewa karena dia tidak ingin mendengarkan rekomendasiku. Dan sejak saat itu, semakin lama gua semakin enggan pula sharing tentang finansial di blog ini. Karena gua merasa berbicara dengan tembok. Kata-kata gua tidak berhasil membuatnya tergugah. Padahal itu untuk kebaikan dia sendiri. Apa lah yang gua dapatkan ketika kalian investasi untuk kalian sendiri? Gua dapat uang juga kagak. Dikacangin iya. Daripada membuang energi ku untuk meyakinkan seseorang yang tidak ingin diyakinkan, lebih baik gua menyimpan energi itu untuk diriku sendiri kan.
Lalu ketika sudah menikah dan punya anak, mau gak mau gua harus meyakinkan Troton lagi untuk menabung dan berinventasi. Gua sudah mengkalkulasikan berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk biaya sekolah anak. Gua langsung memberitahunya untuk menyimpan sejumlah nominal setiap bulan. Yang tentunya tidak mudah ya, teman-teman. Butuh beberapa waktu pertengkaran, sindiran dan kejadian tidak menyenangkan sampai akhirnya biaya sekolah anak bisa ditabung setiap bulan. Tentu saja gua merasa lelah. Ya ini anak adalah kepunyaan dua orang. Tidak mungkin dong, hanya gua sendiri yang menabung. So unfair!
Kami sangat beruntung masih tinggal dengan mertua yang notabene semua biaya listrik, air dan makan masih ditanggung oleh keluarga. Gua tidak bisa membayangkan apa jadinya apabila kami tinggal terpisah. Mungkin kami berdua sudah depresi.
Di mindset gua, lelaki seharusnya bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya rumah tangga. Uang suami adalah uang istri. Uang istri adalah uang istri. Itu merupakan suatu prinsip yang gua percaya.
Mertua gua pun menjawab, "Yaaa untuk investasi. Tapi kalau mau tinggal juga bisa!"
Gua pun berpendapat bahwa lokasi rumah tersebut terlalu jauh untuk ditempati. Lebih baik, uang tersebut dipakai untuk membeli saham. Pada saat itu, gua merasa investasi di saham lebih baik daripada membeli rumah.
Pendapat gua tentu saja dianggap sebelah mata oleh mertua gua. Karena di mindset mereka, saham merupakan suatu hal tabu yang tidak pantas untuk dibahas. Bahkan sebelumnya, gua pernah di ceramahin tentang betapa buruknya saham dan diingatkan untuk tidak pernah bermain-main dengan saham.
Fast forward ke sekarang, look at what they did?
Mertua gua beli saham. Dia melihat anaknya bermain saham dan prospeknya terlihat bagus. Lalu ia pun ikutan.
Ketika mertua gua ikutan beli saham, Troton menyindirnya. "Loh kok kamu beli saham? Kan kamu sendiri yang bilang jangan main." Yang tentu saja dibalas dengan, "Ya kan gua beli nya dikit aja."
Tentu di saat itu, gua sakit hati. HAHAHA. Tapi gak gimana-gimana. Cuman merasa sedih dan tak dianggap aja. Memang betul gua merupakan orang yang pelupa. Kemarin makan aja udah gak ingat. Tapi gua gak lupa bagaimana dia gak setuju dengan gua yang pro tentang saham.
Gua bukan orang yang paham betul tentang saham. Gua masih perlu banyak belajar. Nominal yang gua gunakan untuk membeli saham juga masih sedikit. Gua ingat saat dia baru bermain saham, dia bertanya ke gua tentang berapa banyak saham yang gua beli. Tentunya gua jawab dengan 'gua beli hanya sedikit'. Yang kemudian di timpal oleh Troton dengan, "Liat dong brenda, beli saham cuman ratusan ribu aja. Gak banyak-banyak." Well, sebetulnya benar-benar aja, memang gua beli saham gak banyak. Terkadang beli ratusan ribu, namun terkadang bisa juga sampai jutaan. Tapi gua gak mau terkesan punya banyak uang, jadi gua selalu bilang 'gua beli saham sedikit'. Which is mungkin jadi kesalahpahaman di mertua gua, dan dia beneran menganggap modal gua emang cuman ratusan ribu. LOL. Gua gak tau dia percaya atau engga, tapi gua merasa dia beneran berpikiran seperti itu. Dan merasa levelnya tidak pantas dengan gua. Oh my silly me. Gua jadi merasa dia mengganggap gua lalat kecil.
Ketika gua merekomendasikan untuk beli saham, tidak digubris olehnya, malah ditentang.
Ketika anaknya main saham, dia ikut main tanpa di ajak.
Am I the only one yang merasa seperti lalat kecil yang tidak dianggap?
Mertua gua yang awalnya tidak pro dengan saham juga berdampak pada Troton. Troton juga enggan beli saham. Tapi lebih parah lagi. Dia seperti enggan untuk berinventasi apapun itu bentuknya.
Sungguh. Gua tidak habis pikir.
Ketika masih pacaran, gua selalu memintanya untuk berinventasi. Karena gua sadar diri, usia kami masih muda dan investasi merupakan sesuatu hal yang luar biasa untuk di jalankan saat ini. Tapi, sayangnya, membujuk Troton untuk berinventasi sampai mulutku berbusa-busa dan badanku kejang-kejang, tidak berhasil membuatnya setuju. I feel ... worthless. Gua merasa tidak berguna, tidak dihargai dan tidak berarti. Gua kecewa karena dia tidak ingin mendengarkan rekomendasiku. Dan sejak saat itu, semakin lama gua semakin enggan pula sharing tentang finansial di blog ini. Karena gua merasa berbicara dengan tembok. Kata-kata gua tidak berhasil membuatnya tergugah. Padahal itu untuk kebaikan dia sendiri. Apa lah yang gua dapatkan ketika kalian investasi untuk kalian sendiri? Gua dapat uang juga kagak. Dikacangin iya. Daripada membuang energi ku untuk meyakinkan seseorang yang tidak ingin diyakinkan, lebih baik gua menyimpan energi itu untuk diriku sendiri kan.
Lalu ketika sudah menikah dan punya anak, mau gak mau gua harus meyakinkan Troton lagi untuk menabung dan berinventasi. Gua sudah mengkalkulasikan berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk biaya sekolah anak. Gua langsung memberitahunya untuk menyimpan sejumlah nominal setiap bulan. Yang tentunya tidak mudah ya, teman-teman. Butuh beberapa waktu pertengkaran, sindiran dan kejadian tidak menyenangkan sampai akhirnya biaya sekolah anak bisa ditabung setiap bulan. Tentu saja gua merasa lelah. Ya ini anak adalah kepunyaan dua orang. Tidak mungkin dong, hanya gua sendiri yang menabung. So unfair!
Kami sangat beruntung masih tinggal dengan mertua yang notabene semua biaya listrik, air dan makan masih ditanggung oleh keluarga. Gua tidak bisa membayangkan apa jadinya apabila kami tinggal terpisah. Mungkin kami berdua sudah depresi.
Di mindset gua, lelaki seharusnya bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya rumah tangga. Uang suami adalah uang istri. Uang istri adalah uang istri. Itu merupakan suatu prinsip yang gua percaya.
Tetapi sayangnya, Troton tidak berpikiran demikian. Menurutnya semuanya adalah uang bersama.
Tentu gua gabisa berpikiran demikian. Gua menolak untuk berpikiran demikian.
Karena suatu saat jika terjadi sesuatu, dia masih punya keluarga untuk support dia. Gua? Siapa lagi yang akan support diri gua kalau bukan diri gua sendiri pula? That's why, gua berusaha bekerja dan menyimpan uang untuk menjaga masa depan gua. Karena gua tau, satu-satunya yang bisa membantu gua adalah diri gua sendiri. Gua tidak bisa dan tidak boleh mengharapkan orang lain.
Gua jadi ingat the hardship yang gua terima saat ingin menikah. You know, ketika orang mau menikah, pasti ada aja halangan-halangan yang terjadi. Saat itu, gua menolak untuk menikah dengan Troton karena gua merasa belum siap. Gua masih 22 atau 23, usia yang tergolong sangat muda untuk menikah. Umur adiknya bahkan sepantaran denganku. Ketika gua bilang gua belum siap, mereka langsung berpikiran yang engga-engga tentang gua. Seolah-olah gua cuman main-main. (Ya what do you expect sih dari gadis usia 22?? Memang gendeng sih.) Pokoknya sampai jadi ribut besar. Mama gua satu-satunya orang yang terus meyakinkan gua untuk menerima lamaran Troton. Dan yaudah, setelah ribut-ribut akhirnya gua terima juga untuk nikah.
Dimana-mana yang minta restu orang tua tuh biasanya si cowok kan. Bayangin yah, kita berdua mau nikah, tapi yang disuruh hadapin orang tua tuh gua. Me, myself, and I. Gua si cewek yang datang kerumah cowok minta restu. Thinking back in the day, sungguh sedih banget. Gua nangis loh saat itu. Harusnya Troton dong yang ketemu orang tua gua dan minta restu. But, this is the other way round and I feel so sad just thinking about it.
Karena udah ribut begitu, mertua gua bilang gini. "Okay, kalian boleh nikah. Tapi kamu harus tanda tangan pernjanjian pra-nikah!"
Gua gak tau menahu soal prenup saat itu. Tapi gua ingat betul kalau gua sakit hati banget. Damn it, masih terasa sampai detik gua tulis ini dong. T-T Prenup itu merupakan hal yang bagus. Kalau terjadi sesuatu, misalnya pihak satu berhutang. Pihak yang satunya lagi tidak berkewajiban untuk bayar hutang tersebut jika sudah cerai. Tentunya, gak ada lah yang mau cerai. Wong baru nikah. But, mertua gua saat itu maksa gua untuk bikin prenup. Gua tau maksudnya adalah kalau terjadi sesuatu, gua gabakalan bisa ngambil harta dia dan anaknya. Dan tentunya gua sakit hati dengan mindsetnya seperti itu, yang seolah-olah gua mau nikah karena harta. Tapi gua tetap setuju dengan prenup itu karena gua juga harus berpikiran seperti itu. Kalau terjadi sesuatu, dan Troton berhutang, gua gak punya kewajiban untuk bayar hutangnya dia. Dengan pikiran seperti itulah, baru gua setuju untuk tanda tangan prenup. I had to protect myself. Kalau bukan gua yang menjaga diriku sendiri, siapa lagi? Again, dia punya keluarganya untuk support dia. Sementara gua hanya punya diriku sendiri. Me, myself, and I.
Troton membelikanku makanan ketika gua mau. But that's it. Ketika gua mau meminta dibelikan sesuatu, dia akan selalu punya seribu satu alasan untuk bilang tidak. "Ya kamu tau sendiri, setengah uangku sudah untuk anak kita. Aku gak punya uang lagi." Tapi dia bisa beli pernak-pernik sepeda. :) Gua gak begitu masalah padahal keyataannya menyakitkan sekali. Yang membuat gua kecewa berat dan sedih adalah ketika dia shamelessly menyindir gua dengan ,"Beliin aku bearing sepeda dong." Mentang-mentang gua bisnis sendiri dan bisnis gua lumayan jalan. Like, WTF man. Gua aja mau minta dibeliin barang sama lu tuh udah ga pernah lagi. Gua mau beli apa, gua pakai uang gua sendiri. Gua kerja buat hidupin diri gua sendiri. And you shamelessly minta uang sama gua? How could you? How could you do that to me? Mungkin di otaknya itu dia hanya bercanda (sembari berharap) Tetapi aku yang sensitif dengan keuangan ini selalu merasa tersinggung dengan candaannya. Gua gak merasa itu pantas menjadi candaan. Honestly, I am hurt.
Setelah dua tahun lebih menikah, keadaan menjadi lebih baik. Mertua gua orangnya baik, pengertian, walau terkadang emang perkataannya melekit. Tapi gua tau deep inside dia tuh baik. Everything's fine dengan keluarganya. I could understand his family. Gua juga sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan.
But I have to say, It's a never-ending love-hate relationship. Berulang kali terjadi, dan berulang kali terluka. Berulang kali membaik, lalu semua kembali lagi. Seperti makanan sehari-hari yang dicerna lalu dikeluarkan lewat lubang pantat. Terjadi secara alamiah.
Well, keresahan-keresahanku selama ini akhirnya tertuliskan di blog. Fiuh~
Gua berharap Troton akan berubah menjadi pribadi yang lebih giat, bertanggung jawab, baik hati, dan pengertian. Semoga Tuhan juga membuat gua menjadi pribadi yang lebih pengertian, legowo, dan baik hati yang bisa menerimanya apa adanya. Dan menjauhkan ku dari pikiran-pikiran negatif yang berlebihan. Amin.