Return 12

Jumat, Oktober 10, 2014

Kehidupan memang penuh dengan misteri, dan histeri. Kadang ia bisa mengangkat kita terbang ke langit berawan empuk, dan kadang ia juga bisa menerjukan kita ke tanah kasar. Seringkali ia mengejutkan kita dengan berbagai trik-triknya.

Kehidupan gua juga di rangkai sebagai sebuah puzzle acak yang membutuhkan waktu lama untuk bisa menyatukannya kembali. Untuk bisa merangkainya seperti yang telah di tentukan di awal permainan, gua harus melewati berbegai peristiwa entah itu baik atau buruk. Dengan berbagai hal yang terjadi dalam hidup gua, itu pun hanya bisa menyatukan serangkaian kecil puzzle acak.
Gua mengira-ngira seberapa dalam lagikah gua harus menggali, seberapa jauh lagikah gua harus melangkah, seberapa banyak duka yang harus gua bebani, dan seberapa banyak kebahagiaan yang bisa gua raih untuk bisa mengerti arti hidup gua sendiri. Kenapa gua bisa lahir di dunia ini, sebagai seorang Candy, sebagai anak dari orang tua gua, sebagai teman Juli dan Franco, serta sebagai kakak Catherine. Ada banyak hal yang gua pikirkan selama ini walau terkadang gua berusaha untuk tidak memikirkannya. Namun, hal-hal itu akan selalu menyusup dalam otak gua, membuat gua membayangkannya tanpa sadar. Dan ketika gua merasakan dampak akibat memikirkan masalah-masalah ataupun pertanyaan-pertanyaan itu, gua akan terpuruk dalam hal kegelapan yang terlihat sungguh kabur di mata telanjang.

Akankah hidup gua terus berada dalam bayang-bayang yang rasanya tidak bisa di sikat bersih? Begitu pertanyaan tersebut muncul dalam benak, gua merasa pesimis. Rasanya semacam berada di ujung tanduk dimana lu tidak tahu bagaimana harus bertindak. Lu ragu-ragu sejenak, karena pilihan yang akan lu buat bisa berakibat fatal ataupun menakjubkan. Namun karena pilihan itu sendiri malah terlihat meragukan, jalan tengah akan terlihat lebih aman. Sayangnya, jalan tengah yang dimaksudkan bukanlah jalan tengah untuk mengurangi resiko fatal yang bisa terjadi melainkan sebuah hibernasi untuk tidak melakukan apa-apa sehingga tidak akan mendapat keburukan ataupun kebaikan. Dengan kata lain, jalan tengah yang bersifat aman bagi gua adalah bersikap netral.

Setelah gua membaca surat yang di berikan Micky berhari-hari yang lalu, gua mengaku bahwa awalnya gua terkejut. Rasanya seperti ada sebuah batu yang tiba-tiba menghantam dari arah hanya-Tuhan-yang-tahu. Gua tidak sanggup membaca semua surat itu. Bahkan satu surat saja sudah mengguncang gua secara dahsyat, memikirkan gua membaca seluruh surat itu adalah sebuah hal mustahil. Tidak ada orang yang mau dirinya ditusuk berkali-kali.

Gara-gara satu surat itu, kehidupan gua sedikit tergeser. Gua di hantam sebuah pertanyaan: bagaimana nantinya gua bertatapan muka dengan Theo? Haruskah gua memberitahukan Theo bahwa gua membaca surat yang dulu di tulisnya? Atau haruskah gua bungkam diri lalu keluar dari perusahan tersebut? Pada akhirnya, gua memilih pilihan tengah. Gua akan menganggap semua isi surat itu hanyalah butiran debu yang tidak berarti apa-apa. Tapi, mengabaikan sesuatu hal yang mengejutkan hati tidak bisa semudah mengedipkan mata. Seberapa hebatnya dinding pertahanan gua, ada kalanya dinding itu akan luruh. Dan gua takut dinding itu akan luruh dengan cepat bahkan sebelum gua bisa menerima kondisi yang sedang gua alami.

Ketika gua masih sakit kepala memikirkan hal ini (lagi-lagi), orang itu menjentikkan jarinya tepat di depan mata gua. Terhentak, gua menatap Theo heran. Sebagian besar karena keberadaan surat itu dan sebagian kecil karena ia membangunkan gua dari lamunan.

“Kamu kenapa?”

“Ahh...? Ah... Enggak kok...”

“Uhhh? Okay... Let’s go.

“Ah... Yeah...Hah?”

Are you really okay? Mukamu hampa banget.”

Tanpa aba-aba, Theo menaruh tangannya ke kening gua. Cara ia mendekatkan telapak tangannya begitu mudah, tanpa kesusahan seakan ia sudah sering melakukannya. Apa ia benar-benar Theo yang menulis setumpuk surat itu? Rasanya mustahil. Theo menarik kembali tangannya mengatakan bahwa gua sama sekali tidak panas lalu ia mengernyitkan dahinya bertanya-tanya apa yang salah pada diri gua.

“Kamu tahu kan kita ada meeting hari ini? Bersiap-siaplah, sebentar lagi kita akan pergi.”

Gua membuka notes imajinari di otak gua untuk menelaah schedule Theo hari ini. “Bukankah meetingnya 3 jam lagi?” tanya gua sambil melirik jam tangan yang masih menunjukkan angka 10.

“Gua mau ke suatu tempat. Dan ...” ada sedikit jeda sebelum ia berbicara lagi. “gua ingin lu menemani gua.”

Dengan itu, Theo masuk ke kantornya. Gua masih termangu hanya menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu semi-transparan.

CANDY? WHY ARE YOU LIKE THIS?? 

Gua memukul pipi gua untuk membuyarkan hal-hal aneh yang terus berkeliuran di pagi hari. Mengambil beberapa file penting dan tas kecil, gua mengecek wajah gua di cermin untuk terakhir kalinya sebelum mengetuk pintu Theo. Theo keluar dengan jasnya, rapi dan bersih.
Kami pun turun bersama ke tempat parkir.

Theo melemparkan kunci mobilnya ke gua. Gua pun menangkapnya dengan canggung. Siapa sangka seorang sekretaris juga harus menyetir untuk bosnya? Terlebih lagi, seorang cewek menyetir dan seorang cowok hanya duduk tenang. Ini seperti sebuah paralel universe.

So... kita mau kemana?” tanya gua setelah kami sudah duduk di balik mobil.

“Tunggu saja. You will know later.”

“Ehm... pardon? Gua yang nyetir dan lu gak kasih tau gua kita mau kemana... ...?”

Theo hanya menatap gua datar seakan-akan gua baru saja mengatakan hal aneh. Lalu, ia membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu. Anehnya, tawanya yang lebih dulu keluar dari mulutnya. Tawa itu cukup besar untuk ukuran mobil ini, membuat gua merasa aneh dan terpaksa ikut tertawa walau gua gak tahu kenapa kami tertawa. Setelah Theo berhenti tertawa (gua juga), ia mengangkat tangannya.

“Sorry. Sorry. Nampaknya gua mong* juga. Kita pindah posisi aja.” kata Theo sambil tertawa awkward. *)mong = bengong

...

 Hah?

...

What a random ... he is...

Jadi, kami keluar lalu masuk kembali ke mobil. Kali ini, Theo yang berada di balik kemudi dan gua duduk di sebelahnya.

Gua melirik ke samping dan melihat hal ter-random yang pernah gua lihat. Theo mengigit bibir bawahnya. Pipinya juga terlihat seperti sedang memakai blush on warna merah muda, sayangnya fenomena itu hanya terwujud dalam kurang dari 2 detik. Padahal kalau lebih lama, gua akan mengangkat handphone gua dan memotret Theo dari segala angle. Entah kenapa, melihat tingkah laku imutnya yang di luar dugaan membuat gua tersenyum sendiri. Perut gua tergelitik. 

Demi mengalihkan suasana, Theo membuka radio mobilnya. Sepuluh menit pertama, kami hanya duduk dalam diam. Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Gua hanya bisa melirik ke luar jendela atau ke layar handphone gua yang baterenya sudah sekarat padahal masih pagi.

Suasana makin tidak sreg gara-gara lampu merah dan beberapa pengemis yang mengepung mobil kami dengan berhenti di depan jendela bagian kanan dan kiri. Akibatnya, gua tidak bisa lagi melihat keluar jendela. Handphone tolol gua juga krisis batere di saat-saat begini sehingga gua gak tega mengurangi lama hidupnya. Akhirnya gua berusaha memusatkan pandangan gua ke depan. Gua merasakan Theo menatap ke arah gua. Ia bukan hanya melirik sejenak, tapi benar-benar melihat gua. Itu membuat gua merasa tidak nyaman, sangat tidak nyaman. Siapa yang akan biasa-biasa saja ketika dirinya di tatap cowok begitu lama dan begitu dalam? Mungkin artis. Tapi gua bukan artis, bro! Gua harus gimana coba?

Ketika rambut gua hampir berdiri gara-gara tatapan Theo yang tak kunjung pudar, sebuah suara familiar menggelitik telinga gua.

KIISSS FM. 120.4. It’s already ten thirty something. In this hot weather, why don’t we hear beautiful song? We are still opening song request. So for those of you who want to request your favorite song, just SMS ...

Suara ini...

Heard that? The number is...

Tanpa keraguan lagi...

So, let’s see if there is any request yet. Hahaha.”

PASTI!

Gua mengeluarkan handphone gua (dengan rela memakai titik penghabisan batere) dan mengirim SMS ke nomor yang sudah ia sebutkan. (miraculously remember the number!)
Gua tidak memperdulikan tatapan Theo yang-entah-apa-artinya-itu ketika gua mengetikkan SMS. Namun begitu sang penyiar menginformasikan request lagu yang dikirimkan seseorang, gua mendapati Theo terkejut.

Okay... There’s a request from... Candy! Oh, bon bon! So, she requested... Say Something from A Great Big World feat Christina Aguierra! Wah... do you want to hear something to someone, bonbon? Anyway, let’s hear the song!

Lampu hijau sudah menyala mengisyaratkan Theo untuk melajukan mobilnya. Tak berapa lama, lagu Say Something sudah di putar. Gua mengutuk diri sendiri karena memilih lagu yang super galau di sini. Entah apa jadinya suasana yang sudah bercampur aduk ini.

Di lampu merah berikutnya, Theo mengeluarkan handphonenya. Awalnya gua pikir ia ingin menelepon seseorang, tapi setelah tau ia hanya mengetik-ngetik handphonenya gua mulai curiga. Ia kembali lagi melakukan hal random, padahal hari masih pagi dan panjang.

Gua di kejutkan oleh suara radio. Gua pikir hanya gua anak terbodoh yang nge-request lagu ‘Say Something’ seakan ingin mengutarakan sesuatu pada orang yang ada di sebelahnya. Gak pernah ada dibenak gua kalau ternyata Theo akan melakukan hal yang sama. Atau ini hanya kegeeran otak gua (?)

Ohooo... We got another request from Theo! Whoah, isn’t it our former radio announcer?? Okay, bro! Here’s your song, Beautiful Eyes from Taylor Swift!”

Seketika jantung gua berpacu. Gua berkedip lebih cepat dan lebih sering dari biasanya. Apakah ini hanyalah tipu pikiran otak gua? Mungkinkah Theo nge-request lagu tersebut untuk mengatakan bahwa gua mempunyai mata yang cantik? Well, memang benar, mata gua lebih cantik dari mata orang biasa. #ehem Tapi apa benar Theo sengaja membuka lagu tersebut untuk gua?

Di ekor mata gua dapat melihat Theo yang tersenyum di samping.

Gua canggung. Gua bingung haruskah gua ikut tersenyum seakan ia benar-benar membuka lagu itu untuk gua. Atau haruskah gua diam-diam saja agar tidak di anggap ke-geer-an. Terlebih lagi, haruskah gua bahagia ketika ia dulunya pernah menolak gua? Bibir gua tak tau apa yang harus ia perbuat. Ia hanya tertutup rapat.

Ketika gua masih tidak bereaksi apa-apa tentang lagu tersebut, Theo berhenti tersenyum. Gua tahu ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi lampu sudah hijau, dan mau tak mau ia harus tetap fokus pada jalan di depannya. Kami tidak mau sampai kecelakaan hanya karena lagu Taylor Swift kan.
Tanpa terasa, kami sudah sampai di tempat tujuan yang ternyata merupakan sebuah Plaza. Fantastis. Orang-orang akan berpikir kami adalah pasangan baru jadian yang sedang nge-date di pagi hari di dalam plaza.

“Jadi... kita kesini?” tanya gua ketika kami berjalan ke grand floor.

“Yup.”

“Untuk apa?” tanya gua lagi.

Theo menjawab tanpa melihat gua, “Survey.”

“Survey Quinchy Castle?”

“Yup.” Lagi-lagi tanpa melihat gua.

Entah itu perasaan gua aja atau memang tiba-tiba Theo berlagak dingin. Maksud gua, dia tak pernah menjawab dengan begitu singkat, padat, dan jelas apalagi tidak melihat gua. Sungguh lucu kalau ia bertindak demikian karena nyesek akibat gua tidak memberikan reaksi apapun tentang lagu ‘Beautiful Eyes’ tadi.

Sekarang untuk memperburuk suasana, Theo malah berjalan cepat di depan gua. Secara tidak langsung, ia memberikan peringatan bahwa, ‘Aku director dan kamu hanya sekretaris. Jalan di belakang.’

Kalau dia bisa nyesek dan berubah drastis seperti itu, gua juga bisa! Siapa yang peduli gua sekretarisnya atau babunya? Gua adalah gua, dan gua paling tidak suka dianggap pelayan. I am originally a princess in my house, and you are telling me to be servant? No, thanks. Gua sengaja berhenti dan memperhatikan Theo berjalan menjauhi gua. Ketika ia sadar bahwa gua tidak membuntuti ekornya, gua berpura-pura mencuci mata di booth pakaian dalam disana. Okay, ini memang awkward. Tapi siapa sangka hanya booth itu yang sudah disusun rapi disana! Sialan.
Gua mengutuk keputusan gua untuk bersikap sok nyesek dan malah harus berpura-pura merasa bahagia melihat berbagai tumpukan pakaian dalam disana. Mana ada cewek yang melihat pakaian dalam ketika ia jalan dengan cowok? Theo pasti berpikir gua adalah maniak yang matanya berbinar melihat ratusan motif pakaian dalam. SIALAN! Gak gini juga keleuss!

Gua sudah siap mental kalau-kalau Theo datang dan menertawai gua lalu kami akan melupakan hal itu dan kembali pada misi melakukan survey toko. Tapi sayangnya gua tidak kunjung mendengar langkah kaki Theo yang semakin mendekat. Berpura-pura sudah siap mencuci mata di booth tersebut, gua memalingkan badan untuk menuju ke arah Theo. Dan OH, Theo masih disana berpose selayaknya ia sedang menunggu pacarnya selesai berbelanja.

Udah puas?

Sialan. Ujar gua dalam hati. Gua pura-pura tersenyum dan mengatakan, “Ayo pergi...” Padahal dalam hati, gua ingin menabrak dinding.

“Gua gak nyangka lu suka style yang begituan.”

“Hah?” Gua menatap Theo tidak percaya. ‘Style yang begituan’ yah? Ha ha ha.

Ketika gua depresi ingin menggali lubang, Theo malah menertawai gua. Gua ampuni dosa-dosa lu kali ini bro... Kali ini doang...

Kami akhirnya sampai di Quinchy Castle Shop. SPG disana hanya menyambut kami selayaknya pelanggan biasa. Mereka tidak tahu bahwa yang berjalan di samping gua adalah bos kecil mereka. Theo benar-benar merahasiakan dirinya di luar kantor.

“Mau cari hadiah untuk pacarnya ya kak?” tanya salah seorang sales girl disana.
Theo hanya tersenyum. Gua tanpa sengaja ikut terjerumus dalam akting ini dan ikut tersenyum.

“Wow. Kakak beruntung sekali hari ini! Kami punya promo menarik lho.” Kata sales girl bernama Mariah itu.

Gua melirik Theo, tak tahu apa yang harus gua perbuat.

“Promonya apa aja?” Theo bertanya.

“Jadi, setiap pembelian sebesar Rp 300.000 saja, kakak akan di make-up gratis oleh make-up artist kami. Cuma untuk hari ini aja loh kak!”

Gua kembali melirik Theo, semacam memberi isyarat, ‘Kita mau ngapain nih?’

Theo kembali mengatur semuanya, “Kenapa kamu gak milih apa yang kamu mau?”

Theo menyuruh Mariah untuk membantu gua memilih kosmetik yang gua perlukan. Ia meninggalkan gua di tangan bawahannya sementara ia sendiri pergi entah kemana.

“Kakak punya kulit yang mulus yah.” Kata Mariah.

Gua hanya bisa tersenyum.

Tak ada salahnya bagi gua untuk mencuci mata ketika gua punya kesempatan kan? Lagipula sebagai pegawai yang baik, gua juga harus mengenal produk sendiri dan memakainya untuk membuktikan seberapa keren perusahaan yang gua tempati.

Ketika gua baru saja memulai adventure mencari barang, handphone sekarat gua berbunyi. Theo mengirim SMS berbunyi, “Gua akan kembali lima belas menit lagi. Ada urusan.”

“Nah, Produk Quinchy Castle yang terbaru adalah Mineral Water Spray, yang terbuat dari bahan-bahan alami yang diproses secara tradisional. . .”

Gua begitu mendalami tur di Quinchy Castle bersama Mariah. Ketika gua sudah memilih semua produk yang gua inginkan dan membayarnya sendiri di kasir, mereka menawarkan gua promo yang tadi disebut Mariah. Gua dengan bahagia setuju. Make-up gratis oleh MUA profesional? Siapa yang tidak mau. Walau gua tidak mengenal siapa MUA cantik tersebut, tapi ia kelihatan dapat dipercaya.
Sudah hampir dua puluh menit telah berlalu setelah gua pertama kali menginjakkan kaki di Quinchy Castle. Ketika gua melihat bayangan wajah gua di cermin, gua benar-benar terpukau oleh pantulan cermin tersebut. Betapa tidak, gua serasa model korea gitu loh. #teplak Well, MUA tersebut lebih memilih natural look daripada heavy make-up look. Gua suka sekali. Serasa tidak memakai make-up sama sekali. Terlebih lagi ia menonjolkan warna asli mata gua sehingga terlihat lebih besar dan indah. Gua jadi ingat lagu tadi...

“Kakak cantik sekali!” ujar Mariah.

Tentu saja! Kamu tidak tahu betapa mengerikan hari-hari yang harus saya jalani untuk dapat melenyapkan lemak-lemak ini. Kepala gua meneriakkan kata #throwback #throwback!!

“Eh, pacar kakak cantik udah dateng...”

Gua melihat Theo dari cermin. Setelah Theo bertindak sok cool meninggalkan gua tadi, ia memberikan senyum kecil di wajahnya. Oh God, dia tersenyum melihat gua. Oh God. OH GOD.
Gua berdiri dan mendekati Theo dengan canggung. Tak lupa, gua juga menyampaikan terimakasih gua ke Mariah dan MUA tadi sebelum keluar dari Quinchy Castle.

You look beautiful.” Kata Theo, kali ini dengan menatap gua.

Sekujur tubuh gua serasa disetrum oleh listrik-listrik kecil. Gua menoleh ke atas untuk melihat Theo. Kami berjalan sambil melihat wajah yang lain. Gua melihat Theo dan Theo melihat gua. Ia tersenyum lagi. Gua melihat senyuman itu dan tanpa sadar ikut tersenyum. Kupu-kupu mulai menari di perut gua.

“Thanks...”

Gua memalingkan muka untuk menghindari menambahnya rona pipi gua yang sudah merah muda. Karena berdiri di dekatnya yang baru saja memuji gua cantik membuat gua panas.

Erm... Can... We’re going that way.” Kata Theo ketika gua berbelok ke arah yang salah.
Tolong, ini bukan salah tingkah. Tapi salah Theo karena ia tidak memberitahu kemana kami akan pergi. Bukan salah tingkah.

“Kemana?” tanya gua.

“Makan. Lu gak lapar?”

Gua melihat handphone gua yang ternyata sudah meninggal dunia.

“Sudah jam dua belas, Can.”

“Oh...”

“Belum lapar?”

“Emm... Belum sih...”

“Kita harus meeting satu jam lagi. Gak ada yang makan saat meeting nanti.”

“Ohh...”

Okay, gua kehabisan kata-kata.

Kami sampai di sebuah restoran dalam plaza tersebut yang sangat ramai. Bahkan gua gak dapat membedakan yang mana pelayan dan yang mana pelanggan karena tempat itu begitu padat.

“Sepertinya kita harus cari tempat yang lain.” Kata gua.

“Gak perlu.”

Theo menghampiri salah seorang pelayan yang berdiri di entrance.

“Oh, atas nama Theo ya? Silahkan, tempatnya sudah di sediakan.”
Pelayan tersebut menuntun kami ke lantai atas restoran tersebut yang mana terdiri atas ruangan-ruangan kecil. Ia membuka salah satu ruangan tersebut dan mempersilahkan kami masuk.

“Makanannya akan segera tiba sebentar lagi. Silahkan menikmati hidangan, Permisi.”
Ia menggeser pintu itu hingga tertutup rapat.
Gua mengamati ruangan kecil itu yang didominasi oleh kayu.

“Jadi, ketika gua masih di Quinchy Castle, lu ngantri buat dapetin tempat ini?”
Theo mengelap sumpit dan sendok dengan tissue lalu menaruhnya di depan gua.

“Mmmmhm.” Theo mengangkat alisnya sambil tersenyum.

“Ooo...”

Gua hanya bisa melihat sumpit dan sendok itu dengan tingkah aneh. Sesekali mencoba merapikan rambut. Sesekali berdeham. Sesekali melihat handphone yang sudah meninggal dunia berharap ia akan hidup kembali.

“Permisi...”

Seorang pelayan menggeser pintu lalu menaruh hidangan menggiurkan di meja. SUSHI, ALL YOU CAN EAT. 

Haha... selamat tinggal gitar spanyol, selamat datang kembali barel. :)

Ketika semua hidangan sudah tertata rapi di meja, gua menunggu Theo untuk mulai makan.

Itadakimasu*...” kata Theo. *)selamat makan

Itadakimasu...”

Gua melahap semua sushi itu dengan ekspresi bahagia. Gua juga merasa sedikit khawatir karena tubuh gua bisa berubah sewaktu-waktu. Namun, surga dunia tidak boleh di elakkan. . .
Theo mengambil sepotong Tsunamayo Maki (yang isinya tuna dan mayonnaise) lalu menyodorkannya ke gua. Gua bersiap untuk mengambil sushi itu dengan sumpit gua.

“Pantang passing makanan dari sumpit ke sumpit.” Kata Theo tiba-tiba.

Gua diam. Siapa yang tahu bahwa memakai dua sumpit untuk mengambil makanan adalah pantang...
Theo menaruh sushi itu ke piring gua dan menjelaskan bahwa “Orang meninggal yang dikremasi biasanya tulangnya akan di passing dari satu sumput ke sumpit lainnya sebagai sebuah ritual kematian.”

“Ohhh...” kata gua sambil memakan Tsunamayo Maki layaknya seekor puppy yang baru saja dimarahi ownernya.

Kami pun makan tanpa bicara lagi. Ketika semua surga dunia sudah habis, pelayan mengangkat piring kotor serta membersihkan meja. Kami masih tetap disana.
Gua tidak punya obrolan untuk di bagikan pada Theo sehingga gua hanya duduk menatap atap-atap. Pencahayaan yang bagus. Mmm...

“Can...”

“Hm?”

Dia menatap gua untuk sekian lama lalu mengatakan, “Maaf.”
Gua tersentak. Tak tahu harus berkata apa. Gua tertawa kecil dengan terpaksa, “Untuk?”

.

.

.

Theo tersenyum sedih. “Well... I just think that I should apologize...”
“Eh?”


“Anyway, kenapa lu bisa suka gua?”

EH??!!

“Setahu gua kita hanya pernah berbicara beberapa kali saat masih sekolah. Was it love at the first sight?

Wajah gua semakin mengerut tak karuan.

Ya, dia memang masa lalu gua. Kami bahkan jarang bertemu satu sama lain di sekolah. Kenapa gua bisa suka padanya? Hingga pada tahap dimana gua bertindak gila hanya karena ia menolak gua? Hingga pada tahap dimana gua sampai ingin revenge ketika kami bertemu kembali? Apakah itu hanyalah gua yang overreact? Ketika dalam masa pengasingan, gua memang memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu berulang kali. Kenapa gua bisa lebay banget ketika bersamanya. You might think that it is not making any sense for me to breaking down just because he said those hurtful things, because we were barely met! 

Tapi... gua tidak menemukan jawabannya. Tak ada alasan. Tak ada karena.

Love at first sight? Maybe? Hah.


“Can..?”

“Huh? Ah... Hehehe.”

“Kenapa gak jawab?”

“Huh? Ah... Hehehe.”

I tried to take back my words, but it failed.

“Huh? A...Huh?”

.

.

Do you mean those letters?” tanya gua.

“What letters?” tanya Theo balik.

Gua memasang tampang poker-face, berusaha untuk tetap tampil stabil di depannya.

“Surat yang lu tinggalkan di radio...”

Mata Theo membesar untuk beberapa detik. “You read that?

Gua mengangguk pelan.

Untuk beberapa lama, kami tidak berbicara. Hanya suara tawa dari ruang sebelah yang dapat terdengar.

I’m sorry that I was a coward jerk...” kata Theo, “...but your Dad isn’t wrongful at all. He is still your dad.

Hah? What do you mean?

Alis gua berkerut. Apa hubungan Dad dengannya?

 Theo juga sama terkejutnya dengan gua. “Bukankah lu sudah membaca semua surat itu?”

“Gak semuanya. . .”

Theo memandang ke bawah, entah ingin memberitahu atau tidak.

“Okay... Lebih baik gua menjelaskan secara langsung daripada lewat kertas itu...” Theo meminum ochanya sejenak, lalu melanjutkan, “You heard my father. You heard my story. Was it the cat, when we first met? In all honesty, I don’t know any about you. And at that time, your father met me in person. It’s so dramatic that I kinda feel pissed off. Like, I barely met you, why did your father came to me? That feeling. But, in turned out that our father had a history. A bad one...

Well, the bottom line is your dad didn’t want to make contact with me, my family to be exact. Maybe he thought we were seeing each other.

I am dumbfounded.

I thought it was so childish. I’m too stuffed up with my dad. I also heard your rumor as well. You got the princess sick right? Your dad was a super man. Now that I think of it, you’re dad was so cute.

I am totally dumbfounded.

I am really sorry, for what happened that day. I shouldn’t say those hurtful thing...

I am bewildered.

Are you listening, can?

Why... How...

“Hmm?”

How can you said it so lightly?”

I shot a look to Theo, which only stare my face without giving any answer. Then I realized, I am the only one fool. I am the only one acted so crazy. I look like a complete idiot. And what I am doing all this time, is totally laughable. I looked down.

But... here you are, in front of me... I just want to open a new page of our relationship... Don’t you think it’s better to start off a fresh begin again? Without the relation of our dad, of course.

...Do you did all these because you felt guilty to me?” gua tanya Theo.

You mean?

Like, because you think you hurt my feelings. And then, after a while, you think that’s weird. And then, ... and ... and you think you should make up with me, because you feel guilty. ... But why would you? Like... we barely met each other that time. That’s right. Why would you do these? Like, I thought I am the only crazy one to think that matter so much. But did you too? You said we barely met, but why would you act like...” you care so much to me. And I felt like you like me too. And I don’t know what’s going on my mind right now. I am speechless and totally feeling retarded. 

“Don’t ask me. I’m also curious about the answer...” 

Kemudian Theo pergi keluar untuk membayar bill sementara gua masih di dalam ruangan untuk menelaah apa yang telah terjadi, dan memikirkan respon apa yang akan gua berikan pada Theo.
Because seriously, I am gonna go crazy for all that dramatic session!
Ketika Theo kembali ke ruangan, gua langsung bangkit. Kami pun pergi menuju ruang meeting tanpa menyinggung apapun lagi tentang hal itu.

//

Gua melihat ke sekeliling rumah. Gua terpukau. Oleh semua yang ada.
Karena berada di rumah sendiri membuat gua semakin kacau dan amburegul, gua main-main ke rumah July sekaligus melihat keadaan disana setelah beberapa lama gua tinggalkan. Tebak apa yang gua dapatkan? Gua menjadi roda ketiga. . .

Gua gak memberi kabar apapun ketika gua akan berkunjung ke rumahnya, dan ...

Franco membuka pintu rumah dengan bahagia sambil menyodorkan serangkai bunga. Ia pikir, gayanya pasti sudah eksotis di depan mata July. Tapi gua bukan July, daripada eksotis, kata erotis lebih pantas untuk Franco. Dengan dua kancing atas terbuka dan rambut setengah basah (atau kebanyakan pomade), terlebih lagi dengan wangi parfum yang membuat gua ‘kesetrum’ dan ingin muntah, Franco sungguh merupakan seorang lelaki yang erotis malam itu. Iya, malam. Gua bisa membayangkan betapa malu dan kecewa Franco ketika dia melihat gua di depan pintu.

“Sorry mengganggu suasana.”

Mengesampingkan Franco dan bunganya, gua masuk kedalam. Hanya untuk mendapatkan bulu kuduk yang merinding. Semua sisi ruangan hanya dihiasi lilin-lilin yang romantis, puitis dan dramatis. Seketika gua merinding sendiri.

Gua membereng Franco, “Lu ... ngapain, kodok?”

Franco yang shock berat atas apa yang telah gua lakukan, tersadar kembali, “LU KENAPA DISINI! TAIII. Lu ngerusak segalanya tau!”

Gua yang memang orang ketiga disitu merasa geli lalu tertawa sekuat tenaga. “Lu sok cute banget kodok! Najis banget gua liat lu!”

“EMAI! Bukannya kalian para wanita selalu mengimpikan hal romantis kayak ini? Heh... Persiapan gua yang sudah matang fisikal dan mental jadi runyam gara-gara lu, botol!”

“Ehem... sayangnya gua gak suka lu kodok. Jadi gua gak merasa romantis seupilpun. Okay, intinya, lu ngusir gua?”

“Dengan sangat menyesal, Anda harus pergi dari sini sekarang juga.” Franco menundukkan kepalanya dengan gaya semacam pengawal kerajaan yang memberi laporan hormat pada ratunya.
Jujur gua merasa sangat kecewa, terlebih lagi, iri.

Franco yang dulunya selalu satu-dua ronde dengan July, malah sekarang begitu romantisnya. Mereka pasangan penuh perkembangan. Seketika itu juga gua punya keinginan untuk bertanya, ‘Kapan nikah?’ Tapi gua tahu, mereka berdua akan merasa malu-malu sendiri lalu gua akan merasa galau
karena gua... masih jomblo tulen.

Sial.

“Okay. Gua keluar!” Kata gua, dengan gaya semacam mau ngajak berantem.

Ketika gua sudah berada di ambang pintu untuk menyampaikan salam keberuntungan ke Franco, dengan baik hati, dan tidak sombongnya, July turun dari mobilnya.

Gua dan Franco membatu.

July melihat kami yang membatu.

July berjalan perlahan.

Keringat dingin mengucur di dahi gua. Gua merasa out-of-space. Di saat kedua insan seharusnya saling bertatap muka, merasa dunia begitu romantis, menghabiskan malam bersama (#ehem), kenapa gua harus ada disitu menjadi orang ketiga yang Cuma bisa gigit jari melihat mereka begitu mesra? Nasib.

“Kenapa kalian gak bergerak sama sekali? Oh my god. Lu bau banget can!”

“Bukan wangi gua itu!” protes gua.
July pun melirik Franco yang tiba-tiba salah tingkah. Franco pasti berpikir parfumnya dapat menghayutkan July layaknya pheromon vampir yang begitu menggoda. CIH.
July melirik ke dalam rumahnya, “Emangnya mati lampu?”

“Ehmmm.. July, gua... pulang dulu yah... Ehehehehehhehehhehhe.”

“Kenape lu, can? Udahlah. Lu udah disini juga, masuk aja lah. Paling mati lampunya juga bentar. Apa mungkin Cuma konslet yah?” kata July sembari memasuki ruangan.

Gua masih diam membatu di ambang pintu sementara Franco menghampiri July. Gua gak nahan ngeliat scene apa yang terjadi di dalam sana, sehingga gua hanya bisa berdiri di ambang pintu menghadap keluar. Akhirnya dengan segenap keberanian yang tersisa gua berkata, “Gua pergi dulu ya.” Lalu bergegas ke mobil gua untuk pergi dari mereka.

Bersama bonbon, gua menatap langit-langit, awan-awan, bintang-bintang, lampu-lampu, jalan-jalan.

Gua pun pulang ke rumah dengan bonbon.

Gua melihat sebuah mobil berdiam di depan rumah gua. Seorang cowok berdiri di samping mobil tersebut. . .


//

  • Share:

You Might Also Like

0 comments