Waktu Pergi

Senin, Juni 18, 2018

Sebuah post-it note berwarna kuning bertuliskan 'Leave this f*cking house' terpampang di depan kaca. 4 tahun lalu, hal yang gua paling inginkan adalah pergi meninggalkan rumah yang sudah ditinggali bersama selama setengah dekade. That's me in my eighteen year-old-self. 

Gua melihat orang tua gua bertengkar begitu hebat, melempar hanpdhone hingga remuk berantakan, ataupun memaki dengan kata-kata kasar hingga menggema. They used to love each other, bersama dalam kesusahan sampai akhirnya merangkak dan berada dalam zona keuangan yang cukup aman. I don't know why my Dad change his mind. Setelah beberapa lama bertengkar, Mom keluar dari rumah. Meninggalkan kami, anak-anaknya. Kemudian Sis yang sudah tamat sekolah turut keluar mengikuti Mom. Bro? I don't remember about him. Gua? Berada dalam satu rumah yang terasa sangat kosong. Berpikir bagaimana caranya gua bisa pergi.

Sampai suatu ketika, gua, Mom dan Sis mendapat kesempatan untuk jalan ke Jakarta. I was so excited that we are finally leaving. And when I got the chance to stay in Jakarta, I chose to stay. Memilih untuk menetap berarti gua gak perlu lagi kembali ke rumah itu. Tetapi, itu artinya, gua juga harus pergi meninggalkan teman-teman gua yang di Medan.

Is it hard?
Awalnya tidak, because all I could think is leave the house forever. And I am happy for that. 

Gua meneruskan kegiatan gua disini, kuliah sambil bekerja. Menyibukkan diri sendiri. Trying to be as independent as possible. 

Setelah beberapa lama, gua kembali menemukan titik dimana pemikiran 'Gua harus pergi dari sini' kembali menguak. Namun, gua menahan diri untuk tetap menetap karena . . . I literally doesn't have plan. Gua juga masih punya kepentingan untuk meneruskan kuliah gua yang masih berumur sebongkah batang.

Back then, I know I should go, but I can't. 
Fortunately, I could go now. 

Waktunya pergi meninggalkan ketika tidak alasan untuk menetap. If it's not meant to be, then don't. Orang-orang yang berbicara dan mencibirmu, mengucapkan 'oh seharusnya kamu begini loh, tapi kok malah kamu begitu.' Leave them alone. Please. 

Waktunya pergi ketika semua yang kamu perbuat tidak lagi di hargai, tetapi dianggap sebelah apalagi di caci maki.

Gua kenal beberapa orang yang menetap padahal ia sedang berada di kondisi di atas. Dimana ia sendiri yang berkata bahwa ia tak lagi di hargai, tetapi ia sendiri pula yang tidak punya keberanian untuk pergi. Takut kalau ia pergi, orang yang tidak menghargai itu kesusahan. Atau takut kalau ia pergi, ia tak punya apa-apa lagi. Umur juga mempengaruhi mereka.

There are many things that hold them not to leave. Even when there are also many things that should be the reason they leave.

If you encounter this, Bren, do leave. Not for others, but for yourself. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments