CHAPTER 8
Ternyata Franco memenuhi janjinya untuk menjemput gua.
Gua sudah berpakaian layaknya sekretaris. Dengan jas dan rok yang jarang lagi gua pakai (karena selama beberapa bulan terakhir, gua selalu memakai celana), gua pun mematut diri di cermin. Perlu waktu sekitar lima belas menit sampai akhirnya gua siap berdandan. Gua membiarkan rambut gua digerai indah sementara gua memilih make-up yang tidak begitu berat untuk menghias wajah. Dengan sepatu high-heels 5 senti, gua siap keluar menuju mobil Franco yang sudah menunggu.
“Ternyata lu beneran jemput gua yah, kodok!” kata gua sembari memasangkan seat belt.
“Yaiyalah. Bisa-bisa gua dihajar.” Sepertinya itu yang gua dengar, suaranya terlalu kecil. Tapi gua gak terlalu peduli. Gua langsung menanyakan hal-hal lain yang kira-kira perlu gua ketahui.
“Can… Gua mau mastikan dulu yah. Lu gak bakalan marah sama gua kan? Kalau-kalau ternyata lu gak setuju sama pekerjaan ini?”
“Hah? Jangan-jangan. . . 0-0 Bos lu gay ya?”
“-_- Yaelah. Hmm...Yaudah deh kalau gitu. Pegangan yang erat ya, boootoool!”
“Beh. Gak ada kata yang lain selain botoo---- Wah, gila lu! Kencang banget! WARGH!!”
//
Selesai memarkirkan mobilnya di basement, kami keluar dari mobil dan memasuki lift. Franco segera memencet tombol 16 dan kami pun menunggu dalam diam. Entah kenapa, gua merasa deg-degan, nervous gitu. Mungkin karena ini pertama kalinya gua bekerja dengan orang lain. Tampaknya Franco tahu bahwa gua gugup, karena dia memegang bahu gua sekedar memberi semangat.
Setelah sampai di lantai 16, jantung gua makin gak karuan. Apalagi dengan tatapan dari segala penjuru. Okay, okay, relaks. Gua bukan lagi si gendut Candy kok. Sekarang gua adalah si langsing Candy. Hooo Haaa exhale inhale. Fiuuuhhh… -0-
“Karena bos nya juga baru pindah. Jadi… ruangan kalian sama. Mungkin sekitar beberapa minggu lagi baru dipisah, mau renovasi.”
“APA?! Ya ampun.” Tidak kece sekali perusahaan ini. Eh...? "Jadi, sekretaris yang dulu bekerja dimana?"
"Ehek. Hah? Oh... hmm... Ya, gua gak tahu banget la, gua juga baru beberapa bulan kerja disini, can." jawab Franco. Apakah ini hanya feeling gua atau memang Franco salah tingkah? “tenang. Rileks. Oh,ya kalau lu mau santai sejenak, ada lounge di sebelah sana.” Franco sambil menunjuk ruangan yang diisi beberapa sofa.
Tahu-tahu kami berdua sudah sampai di depan sebuah pintu. Di pintu tersebut tampak sebuah tulisan yang diukir berwarna emas dan perak: Director.
Hmm… seperti apa rupanya bos gua nanti… >.,<
“Karena tugas gua sudah selesai… Gua pergi dulu yah. Tempat gua itu di meja yang berjejer tadi. Okay, bye!!! Good luck ya booo-tol.”
Franco pun bergegas pergi ke tempatnya. Dia menyapa beberapa temannya yang sepertinya sibuk menanyakan sesuatu. Sesekali temannya melihat ke arah gua. Gua pun menunjukkan senyum gua. Setelah itu gua berbalik. Pintu ini menunggu gua. Gua harus buka. Buka. . . Bu…ka…
URGH… Gawat. Gua terlihat begitu menyedihkan sekarang. Tapi … mau gimana lagi.
Selama beberapa waktu, gua pun akhirnya mengetuk pintu tersebut.
Setelah beberapa lama, akhirnya ada sahutan dari dalam, “Masuk.”
Gua pun membuka pintu itu dengan hati-hati, takut gagangnya bisa copot seketika.
Gua masuk ke dalam dan mendapati wangi yang harum, dari pewangi ruangan. Ada meja besar di ujung ruangan dengan set furniture sofa dan meja kecil di depannya. Di ujung yang lain, di dekat pintu, tampak sebuah meja kecil. -,- Sepertinya itu meja gua.
“Permisi pak. Saya orang baru yang kerja disini.” Aneh?
Orang itu masih duduk dikursinya, membelakangi gua. Wah, dia seperti sedang membuat drama gitu. Sebentar lagi dia akan membalikkan kursinya. Dan gua pun akan tercengang melihat dirinya. Dan dia akan bangkit. Dan… hahaha gua nervous banget yah...
“Duduk dulu sebentar di sofa itu.”
Gua menuruti kata-katanya dan duduk dengan kaku di sofa yang ada di depan mejanya. Entah kenapa gua merasa familiar dengan suaranya. . . ._.
“Silahkan perkenalkan diri kamu.”
Whoah… hoo haa… Gua sudah melatih ini selagi berada di perjalanan tadi. Memang agak kacau karena kecepatan mobil Franco sungguh mengganggu. Tapi… setidaknya gua sudah berlatih, jadi…
“Nama saya Candy Lee. Umur saya dua puluh tahun. Saya sedang dalam tahun pertama kuliah di bidang bisnis and management. Dulu saya sekolah di---“
“Okay cukup.” Kata lelaki itu sambil mengangkat tangannya.
Dia membalikkan kursinya dan kemudian berdiri. Dengan langkah tegap dia berjalan dan duduk di depan gua. Dia membenarkan kacamatanya yang berwarna putih.
. . .
. . . . .
Tiba-tiba kata-kata Juli dan Dad terngiang di kepala gua.
[“Can! Lebih baik lu mikir dulu deh… Daripada lu menyesal nantinya.”
“Sebenarnya kalau kamu mau, kamu bisa kerja di tempat papa.”]
I said this before right? Fate or whatsoever seem like it is playing with me.
The one who sit in front of me is no other than … him.
It's somewhat funny how his presence is not really shocking fact for me... and for you too, reader, right?
It's like a plan... a perfect plan.
Kami saling menatap satu sama lain untuk waktu yang cukup lama. Kami baru berhenti setelah Theo menampakan senyum tipisnya. Dia pun mengulurkan tangannya, “Nice to meet you again.”
. . .
. . . . .
HAH…
HAHAHA…
“Long... time... no... see...” Gua menyambut tangannya.
Theo menarik tangannya dan duduk di kursinya dengan tenang.
Kalau bukan karena ini hari pertama gua kerja, gua bakal ketawa histeris di sini, saat ini juga.
Bisa-bisanya… bisa-bisanya gua ketemu dia lagi.
“Mungkin beberapa hari ini kamu akan sibuk. Karena banyak barang yang harus dikerjakan. Karena ini masih pagi, gua hanya akan menyuruh lu membeli makanan.”
. . . Gua menatapnya untuk waktu yang sangat lama. “membeli makanan”? Bukankah gua sekretarisnya? Bukankah itu pekerjaan seorang pembantu…? ._. Atau jangan-jangan dia cuma mempermainkan gua? .-.
Dengan ragu-ragu gua bertanya, “Anda mau makan apa?”
“Anything bread. But… I don’t like veggie.”
Gua menelan ludah. Pusing dengan keadaan yang ada. Juga… merasa kosong.
Dengan langkah tak pasti gua pun keluar dari kantor itu sambil membawa tas.
Setelah menutup pintu itu… Gua merasa… … aneh. Berbagai rasa bercampur aduk di hati gua.
Gua akui, gua gak menangis saat melihat dia lagi. Gua bukan lagi Candy gendut dulu yang emosional banget. Entah kenapa, gua…merasa lega. Gua melihat dia lagi. . .
What Candy? What's wrong with you! He's jerk! He's gonna play with you again!
No Candy. Maybe it's just a plan made by God. Be thankful because your boss is someone you know.
'Someone you know'? It's better if he's an old creaker! Just resign Candy! Don't hear that bogus angel!
Resign? It's hard to find a job! Did you use your brain or not? Devil beside you!
ENOUGH!
Karena begitu banyak pikiran devil-angel yang berkeliaran di otak, gua segera memutuskan untuk mengunjungi kamar mandi.
*splash*
Membasuhi wajah dengan air keran, gua berharap agar semua pikiran itu segera hilang dan terbawa ombak imajinasi lain. Gua pun mengambil tisu dan segera membersihkan muka yang basah.
Beberapa orang perempuan (ya iyalah) masuk ke kamar mandi sebelum gua belum sempat menikmati me-time di tempat tersebut. Karena masih nervous dengan orang-orang kantor tersebut, gua pun memutuskan untuk bersembunyi di dalam salah satu toilet dan menutupnya dengan sigap.
"Udah keluar belum anak itu?" sebuah suara menarik minat gua. Anak? Anak siapa?
"Entah. Cantik sih, jujur. Dia juga gak seperti cewek penggoda." Cewek penggoda? EW.
*Suara keran terbuka* *air mengalir* Sepertinya kedua cewek itu kemari hanya untuk bergosip ria. -_-
"Kate, siapa tahu dia serigala berbulu domba!" Hah, wah, cewek yang sedang mereka katakan ini sedih sekali yah rupanya.
"Wew... Memangnya Theo akan klepek-klepek dengan sekretaris baru itu? Aku jauh lebih cantik darinya kan."
Benar, sedih sekali cewe---- WHAT? Sekretaris baru?? ITU GUA!!
Tanpa sengaja pintu yang sedari tadi gua tindih (karena ingin menguping dengan jelas) terbuka. Gua hampir terjatuh tapi untungnya tidak. Apa-apaan pintu toilet ini? Qualitynya low class banget!
Kedua cewek itu melihat gua seperti melihat hantu. Mata mereka begitu lebar dan seakan ingin keluar dari tempatnya bernaung, itu membuat gua ingin muntah. Sekarang siapa yang bilang dirinya lebih cantik dari gua? SIAPA? Karena kedua cewek yang sedang melototi gua tidak terlihat lebih cantik setitikpun dari gua. Yang satu wajahnya seperti menggunakan bedak setebal 3cm, sementara yang satu lagi mempunyai muka lonjong seperti lontong. -_-
"HAAA!! EHEK EHEK! Ha ha ha ha ... Hai. ^^;"
"Ah, senang bertemu denganmu... he he he."
Mereka pun segera keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat.
.___.
Padahal ini baru hari pertama gua bekerja disini, tapi gua sudah mendapat cibiran tak enak dari pegawai lain. HIKS.
Gua pun keluar dari kamar mandi dan berjalan ke tempat Franco. Dia sedang bekerja di komputer, tampak serius. Gua jadi tidak tega untuk mengganggunya. Tapi… gua tidak punya seseorang yang bisa diandalkan disini. Terlebih lagi setelah mendengar sesuatu dari kedua cewek itu. -_-
“Kodok...” Gua berbisik di dekatnya. Untungnya Franco mendengarnya dan mendongakkan kepalanya. “Dimana gua bisa beli makanan disini?”
Franco menampakan senyumnya. Dan…
Gua pun menjitak kepalanya. -_-^ Sepertinya gua mulai mendapatkan kembali akal sehat gua. . .
Banyak alasan kenapa gua menjitak kepalanya. Pertama, sebagai pelampiasan karena ada orang yang mengatai gua. Kedua, karena dia tak pernah bilang kalau bos gua adalah Theo. Ketiga, karena dia bilang ini merupakan pekerjaan yang bagus! Keempat, well, tidak ada lagi sih. ._.
“Kenapa lu gak bilang, bos gua itu ‘dia’?”
Franco tertawa cengegesan, dia mengalihkan pembicaraan dengan menjawab pertanyaan sebelumnya, “Lu bisa cari kantin di lantai 7. Ada restoran disana. :D”
Ckckck ....
Gua ingin memberikan berengan mematikan pada Franco. Tapi mengingat ada tatapan pegawai lain yang kemungkinan jauh lebih berbisa, gua pun mengurungkan niat. Sebelum pergi menjauh, gua menyempatkan diri menjitak kepalanya. Setidaknya gua tampak seperti sedang mengelus kepalanya. Ha ha ha.
Benar-benar. . .
Setelah gua pikir… Franco dan Theo berteman. Semalam Franco mengatakan bahwa temannya membutuhkan pegawai baru. Jangan bilang… Kalau… Franco sengaja membuat gua bekerja dengan Theo.
ARGH… Kenapa gua merasa se .. kacau ini? Gua merasa … mixed up. Sumpah, gua bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya gua rasakan.
Dengan pikiran-pikiran itu gua pun menuju lift dan memencet tombol 7. Omong-omong, hebat juga kantor ini punya restoran. ._.
Sesampainya di restoran tersebut… Gua merasa berada di luar negeri.
Itu karena… semua orang yang ada disini rata-rata bule. ;0;
Gua berjalan kearah konter dimana ada seorang cewek unyu siap siaga disana. Setelah melihat-lihat menu yang terpampang di atas kepalanya (maksudnya menu yang tergantung di dinding loh), gua pun memesan.
“Mba. Sandwich tanpa sayur ya, satu.”
“Okay. Ada lagi mba?”
“Uh…enggak.”
“Okay. Terimakasih, sebentar lagi ya mba. Semuanya…”
Setelah membayar dengan uang dari dompet sendiri, gua menunggu sambil sesekali melihat sekeliling restoran itu. Tiba-tiba ada seseorang berbadan tegap berbaju rapi berjalan ke dekat gua. Gua bingung. Dan… Gua pikir orang itu sengaja ke tempat gua, tapi ternyata… Dia ingin memesan. -_-
“Mba Candy.”
“ah…yeah…” Gua pun dengan sigap mengambil sandwich gua yang sudah terbungkus rapi dan bergegas balik ke lift.
Duh. Sialan. Bisa-bisanya gua salting disini. -_-^
BRAIN YOU SUCKS!
//
Sandwich yang tadi dibeli diangkat ke atas dan diteliti oleh Theo. .__. Apa sih yang dia lakukan? Semacam, “Ini dia… si sandwich ajaib dari dunia maya”? -_-^
Gua masih berdiri disana melihat tingkah aneh Theo ketika akhirnya dia memberikan isyarat agar gua pergi ke meja sendiri. Gua pun menurut dan meletakkan tas ke meja, lalu merebahkan diri ke kursi yang cukup empuk juga.
Setelah beberapa saat, gua diam-diam melirik dia. Out of curiosity. Ternyata dia sedang mengunyah sandwich itu dalam diam sambil melihat sesuatu di komputernya.
Okay…Jadi…Apa yang harus gua lakukan sebagai sekretarisnya? Apa gua sendiri berinisiatif melakukan sesuatu?
“Candy… Nanti siang, kamu ikut aku yah. Kita makan siang di luar.”
“Eh… Tapi p--p--pak…” sela gua.
“Aku ada meeting nanti. Kamu bakal nemenin. Ini perintah.”
Ah. . .Hahaha… Kenapa gua salting? *mental slap*
Kenapa yang gua pikirkan adalah, si Theo mau mengajak gua makan siang bersama? Haduh… Kenapa juga gua selalu keGRan disini? Parah…
“Omong-omong itu yang ada di meja kamu, bereskan.”
“Iya… p--pak.”
//
Gua melirik jam dinding, 11.57.
Kata Theo, dia akan membawa gua bertemu klien. Gua bahkan tidak bisa berhenti kepikiran. Kerjaan yang tadi disuruhnya pun, gua kerjakan sambil memikirkan makan siang nanti. Bukan makanannya yang gua pikirkan, tapi bagaimana nantinya gua bertindak…
“Candy… Kamu siap-siap yah. Kita bakal pergi sebentar lagi.”
“ee..iya p--ak.”
Sejujurnya, rada aneh juga untuk memanggilnya dengan sebutan pak. Walau dia cuma berbeda satu tahun dari gua tapi sepertinya sebutan “pak” terlalu formal untuk dirinya, ya kan?
Anyway, gua mempersiapkan diri dengan membereskan meja yang agak berantakan, juga penampilan gua yang rada capek dan lepek.
Setelah siap dengan pekerjaannya sendiri, Theo datang dan menghampiri meja gua yang notabene terletak dekat di pintu. Dia memberi sinyal agar gua bangkit dan pergi. Gua pun menurut.
Kami keluar dari kantor disapa dengan tatapan dari segala penjuru. Beberapa pegawai yang lewat menunduk melihat kehadiran Theo, “Pak director.” Sementara itu, gua mendapat tatapan aneh atau sekadar senyuman memaksa. Gua melihat ke kiri –ke bagian Franco, dia memberikan gua senyuman tipis dan gerakan tangan untuk menyemangati gua. Emangnya cheerleader apa…?
Kami sudah sampai di lift, dan kebetulan lift tersebut langsung terbuka sehingga kami langsung masuk. Sementara dalam perjalanan dari lift hingga ke basement, kami tidak berbicara sepatah kata pun. Gua mengikuti Theo yang berjalan ke sebuah mobil berwarna putih, Audi A4. Sekilas gua diam membatu di tempat. SHE's SO BEAUTIFUL! AWWWW... *Q*
Theo langsung masuk ke bangku pengemudi, sehingga gua pun mau tak mau duduk di depan. Tak mungkin juga untuk duduk dibelakang, karena gua akan tampak seperti orang tak tahu diri.
SHE's so pretty! Audi... Wah... Walau gua bukan seorang maniak otomotif, tapi mobil ini merupakan mobil paling cantik yang pernah gua lihat sejauh ini.
Theo pun menyalakan mesin dan menginjak pedal gas. Tak berapa lama kemudian, kami sudah berada diluar gedung Gakuen.
“Gimana kerjaan kamu? Enak? capek?” pertanyaan Theo membuyarkan ekspresi muka gua yang menikmati sekeliling interior Audi tersebut.
“Hmm... Yah… gitu-gitu lah p--ak ^^;.”
“Hahahah… mending lu panggil gua Theo aja deh. Lagipula kita cuma beda umur berapa tahun aja.”
Gua juga ingin bilang begitu! Karena dia sudah memberi izin, yowes lah. Gua juga tidak suka banget panggil seseorang yang sebaya dengan sebutan 'pak'.
“Kita mau kemana?”
“Oh… Gua mau ketemu klien. Kamu tinggal duduk diem dan berbicara seadanya aja.”
“Jadi… kerjaan gua apa?”
“Gak ada. Cuma nemenin gua aja.”
... Diam sejenak...
Gua menimbang-nimbang untuk menanyakan satu hal yang sebenarnya terus menghantui gua sedari tadi. Perlukah gua tanya? Atau tidak? Iya? Tidak? Well, curiosity got the best of me.
“Gua boleh nanya satu hal sama lu?” tanya gua sambil melirik Theo yang masih sibuk mengemudi. “Kenapa lu berhenti kerja di radio?”
Entah itu karena pertanyaan gua atau memang karena lampu sedang menunjukkan merahnya, Theo mengerem dengan tiba-tiba. Rahangnya mengeras seketika. Dia tidak melihat gua sekalipun, malah dia menjawab dengan nada datar. “Bukan urusan kamu.”
Gua pun diam sampai perjalanan berakhir. Apakah gua sudah bertidak terlalu jauh? Well, tapi gua memang sangat penasaran. It hits me, kenyataan bahwa dia tidak lagi bekerja di tempat yang sudah menjadi pekerjaannya selama empat tahun! Theo juga terlihat sangat menyukai pekerjaannya sebagai penyiar radio, jadi kenapa dia berhenti begitu saja?
Laju mobil yang mulai melambat membuat gua menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Tempat yang kami datangi begitu mewah. Kami disapa oleh seorang waitress yang menanyakan beberapa hal. Kami pun digiring ke tempat VIP yang ternyata merupakan sebuah ruangan setelah Theo mengatakan janji temunya dengan klien. Ruangan tersebut begitu cantik. Dekorasinya begitu klasik, dan yang pastinya berbeda dengan nuansa ruangan utama restoran itu. Theo membuka pintu, dan masuk terlebih dahulu. Gua pun mengekor di belakang.
“Anda sudah datang.” Kata seorang berbadan tegap dengan raut wajah yang menunjukkan usianya tidak lebih muda dari 40 tahun.
Theo membungkukkan badannya memberi hormat, begitu juga dengan gua. “Terimakasih sudah datang. Anda sendirian?”
Orang itu mengisyaratkan kami untuk duduk. “Ah, maaf sekali. Ketua tidak dapat hadir, sedang sibuk dengan temuan barunya. Omong-omong..." Lelaki itu melirik gua dengan tatapan entah-apa-itu, "apa dia pacar Anda?”
*ehek* *malu tak berkutu*
“Ah… tidak. Dia sekretaris saya."
Entah kenapa sebagian dari diri gua merasa disappointed. . .
CANDY! What are you thinking?! Get the hell out of you!
"Oh, senang bertemu dengan Anda. Saya Roosevelt." ujar lelaki itu sembari mengulurkan tangannya.
Gua pun menjabat tangannya sambil memperkenalkan diri dengan senyum sopan, "Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Roosevelt. Nama saya Candy."
"Kalau begitu, bisa kita mulai?" suara Theo menjadi akhir dari perkenalan gua dengan pak Roosevelt.
Selagi menunggu makanan untuk siap dihidangkan, mereka berdua langsung menuju ke topik pembicaraan, benar-benar tidak sungkan untuk berbasa-basi terlebih dahulu. Setelah makanan dihidangkan satu persatu, mereka memberhentikan perbincangan sejenak dan mulai menyantap makanan tanpa berbicara. Gua pun turut makan sambil melirik kedua lelaki itu.
Setelah berbagai hidangan sudah dihabiskan, mereka kembali menyambung pertukaran kalimat. Gua yang berada di sebelah Theo hanya bisa mendengarkan perkataan mereka dalam diam. Karena toh, gua belum punya hak untuk berbicara. Gua hanya sesekali berbicara ketika perbincangan bisnis mereka mulai menuju kesepakatan.
"Ah, senang sekali bertemu dengan Anda, nona cantik." ujar pak Roosevelt dengan senyum jenakanya yang khas. Kalau tidak sedang membicarkan hal bisnis, lelaki itu memang suka bercanda dan humoris.
"Terimakasih. Sampai berjumpa dengan Anda lagi, tuan."
"Hahhahahaha...." Pak Roosevelt menjadi orang yang pertama yang meninggalkan ruangan tersebut.
Wuah, padahal gua hanya duduk disana dan sesekali berbicara, tapi entah kenapa gua merasa capek juga.
Theo melihat gua yang sedang memijit leher dan tersenyum, "Sepertinya dia menyukaimu."
Gua pun menatap Theo. Apa maksudnya? "Ahaha, beliau memang orang yang baik."
"Ohya, sepertinya gua tidak menyesal memperkerjakanmu sebagai sekretaris."
Dengan senyum yang sama, Theo bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan tersebut. Gua pun ikut mengekor dari belakang sambil terus memikirkan senyumnya yang sepertinya sudah lama tidak terlihat.
//
Jam demi jam berlalu hingga akhirnya waktunya untuk pulang kerja.
“Candy, thanks for the hardwork today.” Ucap Theo. Dia keluar ruangan sebelum gua sempat mengatakan sesuatu.
Setelah membereskan barang-barang, gua pun keluar dan mencari-cari sosok Franco. Ketika gua akhirnya melihat Franco, gua menyusulnya. Dia sudah berjanji untuk menjemput gua pulang.
“Jadi gimana hari-harimu, sekretaris kita yang baru?” tanya Franco ketika kami sudah duduk di mobil.
“Jujur kodok…” kata gua sembari melihat dirinya. “Dia yang bilang mau memperkerjakan gua? Atau lu yang merekomendasikan gua?”
Tiba-tiba Franco diam. Suara klakson di belakang kami akhirnya membuat Franco kembali berfungsi. Gua memang memikirkan ini, pekerjaan ini dan hubungannya dengan Theo. Karena bagaimanapun juga, gua diterima begitu mudah tanpa prosedur dan tetek bengek lainnya, jadi gua curiga bahwa mereka memang ingin memperkerjaan gua.
“hahaha… emang kalau aku bilang, kamu mau apa? Terimakasih sama kita?”
“Hmmm… entahlah.”
“Mendingan lu mikir deh, gimana caranya lu ke kantor besok. Gak lucu banget kalo gua antar lu, boto~l.”
-0-
Nafsu banget ini satu kodok memanggil gua botol. . . Tunggu—
Jadi… maksudnya gua harus pergi sendiri ke kantor?
HAAFIUH...
Thanks God, gua sudah bisa mengendarai mobil! Memang, gua super paranoid menghadapi benda itu ketika gua mulai mempelajarinya. Tapi karena ada seseorang yang baik hati sekali mengajari gua, dan menenangkan segala ketakutan ngawur dari gua, gua pun akhirnya bisa menggunakan mobil! (tapi tidak dengan motor..._.) Orang itu tidak lain tidak bukan adalah teman satu kost gua, teman yang selalu berada di sisi gua ketika gua menyendiri selama tiga bulan terakhir ini.
“Eh, kodok. Gua berhenti di mall yakh!” seru gua.
“Emang lu mau ketemu Juli?”
“Gak sih. Mau ketemu teman gua yang lain…^^” teman satu kostan gua yang sangat berjasa dalam hidup gua, Micky…
//
NEXT PART
0 comments