Return 9

Minggu, April 28, 2013

CHAPTER 9

Gua memasuki restoran yang bernuansa seperti kedai itu dengan senyum yang tak bisa berhenti sirna. Ini karena gua akan bertemu lagi dengan boneka teddy gua, Micky.

Walau kami sangat dekat, tapi kami tahu hubungan itu hanya bisa sejauh dan sebatas teman saja. Karena gua pun tahu bahwa Micky mempunyai seseorang di hati. Orang tersebut merupakan teman masa sekolahnya yang sulit terlupakan, dan merupakan cinta pertama yang tak dapat tergantikan. Sikapnya yang kadang suka menyanggah sesuatulah yang sepertinya selalu membuat dia gagal. (Nah, kenapa gua jadi sok ide?)

Micky melambai melihat kedatangan gua. Gua pun kembali tersenyum lebar dan mempercepat langkah kaki ke arahnya. Micky berdiri ketika gua sampai di meja tersebut.

MICKY!!!!!” Walau gua ingin sekali memeluk dia, tapi gua hanya bisa menampar tangannya.

._.

BONBON!” Dia balik menampar tangan gua. Man, it hurts!

Gua pun langsung menghempaskan diri ke kursi dan menikmati wajah Micky. Dia memang imut! Tanpa terasa gua pun mencubit pipinya. (^-^)-c(‘-‘ )

Seorang mba-mba datang menghampiri kami dan menghancurkan momen nostalgia itu, dia memberikan kami sebuah menu untuk dipilih. Kami berdua sama-sama memilih "Grilled Pork Ribs" untuk disantap. Setelah mba-mba itu pergi, gua pun kembali menatap Micky, menelaah titik-titik wajahnya sekali lagi.

“Okay, seriously? Are you falling in love with me?” tanya Micky, pura-pura gugup dan mengganti posisi duduknya.

Gua tertawa renyah. “Gua udah bilang kalau lu ‘teddybear’ gua kan? ^^”

“Yayaya… Sampai gua terkadang bosan mendengarnya.”

Lagi-lagi gua tertawa. "Dalam rangka apa lu ngundang gua makan?" Tanya gua. Micky menelepon sehabis gua pulang dari kuliah. Ia bilang ingin menaktrir gua makan dan juga sekedar berbincang-bincang. Berhubung kami juga sudah beberapa lama tidak bertatap muka.

Micky menampilkan senyum terbaiknya lalu menjawab, "Hehe... Gua sudah dapat kerja. ^^b"

"OHYA?" Selama ini, kami memang bersama-sama mencari pekerjaan. Gua jadi merasa tidak enak karena gua sendiri tidak berencana untuk menaktrir Micky setelah menjadi sekretaris baru di tempat... Jangan pikirkan itu dulu! Alihkan topik pikiran! "Kenapa gak di Pizza ajaaaa?"

"-_-^ Gua baru semalam makan Pizza sama teman-teman gua. Udah deh. Lagipula, ini tempat favorit gua. Makan aja deh. Eh, hati-hati nambah berat badan yah, bonbon!"

Gua pun memberikan berengan ke arah Micky. Sementara Micky hanya tersenyum simpul melihat tingkah gua. ._.

"Jadi, lu kerja dimana? Jadi apa? Berhubungan dengan komputerkah? Lu kan kuliah di Teknologi Informasi dan Komunikasi. Gimana, bangga sudah dapat kerjaan?" gua pun meluncurkan sederatan pertanyaan-pertanyaan ke Micky.

Micky mengangkat kedua tangannya, seolah menyuruh gua untuk berhenti. "Woohoo... sabar, sabar. Hmm... Kasih tahu gak yaaaaa. Hahahaha... Untuk jenis pekerjaan gua, gua gak mau kasih tahu dulu. Tapi... sedikit berhubungan dengan komputer. Dan saking bangganya, gua naktrir lu makan, okay!"

“Jadi, gimana teman-teman lu? Shock berat? Haha…” Lanjut Micky lagi. Ia mengalihkan topik lagi.

“Rahasia banget. Gak penting ih. Anyway, Saking shocknya gua merasa perlu bersujud sama lu.”

Alasan kenapa gua selalu melihat dia sebagai teddy bear gua adalah dia selalu berada disisi gua. Bahkan disaat-saat tersulit ketika gua baru saja memutuskan untuk menjauh dari sekeliling gua. Dia itu bagaikan pengganti Juli, hanya saja dengan rupa yang berbeda.

Bisa dibilang, dia merupakan orang yang tidak terlalu peduli dengan penampilan gua. Bahkan dia memang tidak peduli, karena dia bahkan tidak menghiraukan gua ketika gua baru saja pindah ke tempat kostnya itu. ._. Barulah saat suatu ketika dia mendengar tangisan gua yang terlalu mengenaskan di tengah malam di taman dekat kost ketika dia kebetulan lewat, dia semakin peduli dengan gua. Gua menjelaskan kondisi gua ketika dia akhirnya bertanya. Semenjak saat itu, dia bagaikan Juli ver.2 atau setengah-kembaran Franco bagi gua.

Tak hanya gua yang mencoba terbuka padanya, dia juga membagi masalahnya ke gua. (Entah kenapa, gua ada feeling kalau dia itu gay, *tampar gua deh*) Salah satu rahasia paling rahasia yang dia rahasiakan kesemua orang tapi dia bagikan ke gua adalah… masalah *ahem* cintanya *ahem*. Seorang gadis yang datang ke hatinya dan mengetuk jiwanya yang hampa, gadis special yang sering membuatnya terpana. Tapi begitu mereka terpisah, hanya sapaan singkat yang bisa ia dapat—

“Perjelas lagi, Elu jadi sekretarisnya Theo? HA?”

Selagi kami menunggu makanan, gua menceritakan hari-hari gua setelah pulang kerumah lagi. Termasuk ke bagian gua-mendapat-pekerjaan-horeeergh. -_- Mata Micky yang bersinar melebar melihat gua.

“Ya gitu deh. Jadi, gua sekarang sekantor sama dia. Dan. Seruangan.” jawab gua, sembari mengekspresikan wajah kesal.

“Dan dia gak shock gitu? Melihat lu yang notabene woooo…” lalu Micky membuat gaya dengan kedua tangannya seperti membentuk lekuk tubuh yang AW! (bohay maksudnya)

Omong-omong benar juga katanya –atau pertanyaannya. Saat gua dan Theo berjumpa kembali setelah tiga bulan tidak berpapasan, dia sama sekali tidak terperanjat melihat rupa gua yang sudah mengempis itu. Atau mungkin, Theo hanya sedang menjaga penampilannya tapi sebenarnya dalam hati ia terkejut dan terpana… -_- Gua jadi ngawur… *teplak*

“Entahlah… Tapi… Mungkin juga dia sudah mengetahuinya. Toh, dia dan Franco. You know, they’re friend afterall.” Tanpa sadar gua pun mendesah pelan.

Kening Micky berkerut membuat gua segera mengalihkan topik, entah kenapa jadi geregetan membicarakan Theo. “Ada hasil dari pendekatan elu? Gua ingin sekali berkata, ‘banyak sejuta cewek disana kenapa hanya dia yang lu lihat?’ Tapi gua gak bisa mengatakannya.”

“._.^ Lu sudah mengatakannyah…” Micky pun melihat ke luar jendela. Lagi-lagi mengenang. Bukankah itu sama artinya kalau ia tertutup oleh masa lalu dan terkurung selamanya dalam gambar kenangan itu?

“Pesanan Anda sudah datang…”

Suara itu membuat kami langsung menghentikan pembicaraan dan memakan iga babi panggang yang terlihat menggoda sampai membuat perut gua bergejolak hanya melihat tampilannya. Karena kami berdua sama-sama menikmati iga tersebut, kami tidak berbicara dan hanya menikmati iga lezat tersebut. Oh, iga sudah menjadi makanan favorit kedua gua setelah Pizza. Nyahahahha. ._. Ketika kami sudah selesai makan, kami melanjutkan kembali perbincangan selagi menunggu makanan tersebut terproses dalam tubuh.

“Gua udah coba. Pacaran sama berbagai cewek yang lain, mencoba lupain dia. Tapi … gua gak bisa. Hahaha, news baru yah buat lu? Hehe. Dulunya gua playboy.” Kata Micky sembari mengedipkan matanya dan mengelap ujung bibirnya dengan tisu.

Gua melihat Micky dengan mata melebar, benar ini merupakan berita baru bagi gua. DAN GUA GAK MAU KETINGGALAN BERITA ITU! “Ceritain donk teddy bear gua. ^^”

“Wew… Itu masa lalu. Lagipula, you are the spotlight right now, bonbon! So, you’re gonna practice what I’d already teach you? You know… car… HAHAHA.” kata Micky dengan sedikit penekanan di kata 'Car'.

“Owww… Should I kneel twice for you? You help me for more than I could count! Ohmyfat!”

Micky tertawa lepas mendengar ocehan gua.

Anyway, I’m curious about that girl.” kata Micky. Entah kenapa gua merasa hari hari ini merupakan hari dimana kami berdua sama-sama suka membalikkan meja? Dari tadi, kami terus mengganti topik! Sesuatu bangetz.

That girl? Who’s that girl?”

A girl who was in the same hospital as yours three months ago…” sambung Micky.
Kenapa dia menanyakan sesuatu –atau seseorang- dari masa lalu gua?

“Ah, itu karena dulu gua gak enak hati bertanya. You’re such a crybaby, how could I ask you?”

Ah…Benar juga. Micky tidak banyak bertanya siapa, bagaimana, kenapa, mengapa, dimana, atau pun kapan tentang masa lalu gua. Umumnya gualah yang memulai menceritakan kisah gua sendiri dan dia pun hanya akan duduk diam mendengarkan seluruh keluh kesah gua sampai habis. . . He’s so…something, right?

Now, I doubt myself, why cannot I love him. Well, he is good, he is all, and he is about perfect. However, I could never get the flutter feeling, the butterfly flying, or my face reddening. The only furthest thing I have felt for him is I could not stop myself from hugging, or pinching him. Why I love that person and not this person? Because feeling is complicated, it is not a thing that you can control at will. 

Sooo…?” pertanyaan Micky membawa gua kembali ke kenyataan.

“Ah… That girl with broken legs you mean? She’s Winnie. Ah, I never told you her name. Hehe… By the way, why do you ask?”

Micky hanya menatap gua untuk beberapa detik, “Siapa… namanya?”

“Winnie… Yah, why you look at me like that. Scares me…

Micky menundukkan kepalanya lalu melihat ke jendela lagi. Apa—apa mungkin nama cewek yang terus ia kenang tersebut sama dengan nama… cewek ex-partner nya Theo? Kebetulankah ini?

“Hey… Wanna karaoke? Rasanya kita gak pernah karaoke bareng kan. ^-^”

Secepat itu ia berubah galau, secepat itu pula ia berubah ceria. Tahu ‘kan kenapa gua terkadang menyebutnya Juli ver.2? Karena mereka selalu berubah dengan cepat. Satu menit mereka menggalau, menit kemudian mereka menari. -_-

“Okay!” gua pun menjawab dengan penuh semangat.

Kami keluar dari restoran tersebut setelah membayar bill. Berhubung gua tidak membawa mobil, gua pun mengikuti Micky. Kami memilih untuk menggunakan lift karena kami sedang berada di lantai 5. Sungguh sebuah kemalangan kalau perlu menghabiskan tenaga berjalan dan menggunakan eskalator dari lantai 5 sampai lantai 1.

Kami pun masuk ke lift tersebut, bersama beberapa pengunjung mall lainnya.

5...4...3...2... ting! Pintu lift terbuka.

Gua pun terkejut. Ada Franco dan Juli di depan gua. Mereka berdua berpegangan tangan.

Gua pikir Franco langsung pulang setelah mengantar gua ke mall! Ternyata disinilah dia berada. Berduaan dengan Juli.

HOHOHOHOHO!! (/*w*\)

Mendengar pintu lift yang sudah terbuka, mereka pun melihat ke dalam lift dan sama terkejutnya dengan gua. Juli langsung menarik tangannya dari genggaman Franco dan mendeham. Juli salah tingkah, so sweet!

"Mau masuk gak mas, mba?" tanya seseorang tak dikenal yang berada di dalam lift. Tampaknya mereka terganggu oleh aksi salting kedua orang itu.

Franco lalu mendorong Juli masuk. Gua memberikan tatapan penuh arti ke arah Juli dan Franco. Sementara Juli hanya memandang ke bawah, Franco memandang ke atas dan menggaruk kepalanya yang pasti tidak gatal.

"Siapa mereka? Kau kenal?"

OPS! Gua lupa kalau gua sedang bersama Micky! Omo...

Juli dan Franco juga berbalik melihat gua lalu ke Micky, lalu balik lagi ke gua. Gua belum memperkenalkan mereka!

"Eh... Kenalin, ini Micky. Teman kostan gua dulu..." kata gua sambil menunjuk Micky layaknya seorang pramugari menunjuk bahan jualannya di dalam pesawat.

Belum sempat mereka berdua bersalaman, pintu lift kembali terbuka. Wew, tentu saja. Jarak antara lantai dua dan lantai satu begitu dekat. Kami sudah sampai di lantai satu. Sementara itu, orang-orang lain yang berada di belakang kami berusaha untuk keluar sambil mendorong-dorong orang didepannya. -_- No manner aaa you!

Kami berempat pun sudah terdampar keluar dari lift. Sungguh sebuah pertemuan yang tidak mengenakan di hati. Terlebih lagi, tadi gua sudah menunjukkan gaya pramugari. Tapi gagal! Grrr...

"Sorry. Kenalin nih. Dia Micky, teman kostan gua dulu." Gua pun mengulangi gaya menunjuk Micky. Tapi kali ini tidak dengan gaya pramugari, tapi dengan gaya pelayan Pizzahat yang baik, kalem, dan santun.

"Micky, mereka teman gua yang pernah gua bilang. Juli dan Franco." sambung gua, masih dengan gaya Pizzahat.

Untung saja, kali ini tidak ada penghalang yang mengganggu sesi perkenalan kami.

Micky mengulurkan tangannya dan menjabat mereka berdua sambil melontarkan nama masing-masing. Micky melemparkan senyum terbaiknya sampai membuat Juli terpesona dan menatapnya terus-menerus. Ini mengakibatkan Franco memberikan tatapan geram pada Juli dan menyikut tangannya dengan kasar. Juli yang terbangun dari lamunannya segera tersenyum malu-malu lalu melihat ke arah gua.

Tatapan Juli; "Kenapa gak pernah bilang ada cowok ganteng seperti dia?!"

Gua hanya bisa mengangkat bahu.

"Ah, bagaimana kalau kita sama-sama karaoke?"

Gua melototi Micky yang tiba-tiba mengeluarkan ide yang tidak-aneh-tapi-aneh-juga. -_- Tanpa perlu menggunakan bola kristal peramal, gua pun sudah tahu kalau mata Juli akan berkaca-kaca dan segera menarik kami keluar.

"Tentu saja. Kami juga ingin kesana, ya kan kodok?"

Kodok terlihat kesal melihat Juli yang berjalan di samping Micky.

Gua pun menyolek bahu Kodok. "Jadi sejak kapan kalian berdua... ehem?" tanya gua.

Kodok melihat gua untuk beberapa detik. Gua pikir dia tidak akan menjawab, tapi akhirnya dia membuka mulutnya. "Baru beberapa lama. Selama lu pergi, gua makin dekat sama dia. Dan... ceplok."

Gua pun tertawa cekikikan. Gua pikir mereka masih teman sewaktu kami pertama kali berjumpa setelah gua akhirnya kembali. Mereka kan memang sering bertengkar. Oh, itu namanya couple-fight ya kan? Hahaha... Imoeth.

Berhubung Franco dan Micky sama-sama membawa mobil, kami pun berpisah. Juli sebenarnya ingin mengikut Micky tapi tertahan oleh Franco yang menyeretnya ke mobil.  Sementara gua ikut bersama Micky.

Dalam perjalanan, gua merasa Franco merasa tertantang dengan keberadaan Micky. Karena mobil Franco selalu berada di samping mobil Micky no matter what happens. -_-

"Temanmu... kenapa nafsu banget mau lawan gua?" tanya Micky sambil melirik ke arah kanannya. Sekarang mobil Franco sedang berada di bagian kanan.

"Entahlah. Mungkin karena dia merasa kamu saingannya. Hahahha..."

"Julianna memang cantik sih,  tipe ideal gua lagi." Micky tersenyum licik.

Ini... Jadi maksudnya tentang Playboy itu... benar gituh?

"Tenang, gua bukan orang yang makan teman sendiri kok. Teman kamu lucu deh."


//


The mysterious end of that season
I think, did I really love you?
Somewhere, all those times that we were together
I look back to those times, as if I could touch it, as if it was yesterday
Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
I still haven’t forgotten you
Suara Micky yang mampu menggetarkan hati setiap insan meresap hingga ke pori-pori dan membuat saraf pun rileks. Wow.

Micky sedang menyanyikan lagu Return dari penyanyi multitalenta LeeSeungGi.

Bukan hanya gua yang terpesona oleh suara Micky tapi juga Juli. Juli juga menatap Micky sambil tersenyum. Dia benar-benar orang yang selalu menunjukkan diri aslinya. Ia malah secara blak-blakan menunjukkan bahwa ia terpesona pada sosok Micky.

Seperti biasanya, Franco juga tidak mau kalah dengan Micky. Entah kenapa, setelah bertemu dengan Micky, Kodok menjadi orang kekanak-kanakan yang ingin menjadi pemenang dalam segala bidang. Franco menyambar mic lain dan memilih sendiri lagu yang ingin dinyanyikannya.


The big rains that I missed in those years
The love that I missed in those years
How much I want to hug you
To embrace the courage that I once missed...

Ke-Kenapa semua lagu yang mereka nyanyikan begitu galau?

Franco memilih lagu Those Years yang dinyanyikan Hu Xia dalam film "You're the Apple of My Eyes". Franco begitu masuk dalam dunianya, ia menyanyi sambil melihat satu-satunya orang yang patut ia tatap. Tak lain tak bukan adalah Juli.

Franco bukan manusia yang memiliki tone-deaf. Ia menyanyikannya dengan bagus sampai-sampai gua pun ikut terpana. Kalau ia memang ingin dibandingkan dengan Micky, mereka berdua hampir berada di level yang sama. Bedanya Micky lebih pandai menyanyi dibanding Franco. Samanya wajah kedua cowok itu memang tampan. *ahem*

Selesai bernyanyi, Franco langsung menghentakkan kepalanya kesamping untuk membiarkan poninya yang sempat menghalangi matanya bergeser. Ia mengakhiri pertunjukkannya dengan kedipan mata yang tertuju ke Juli. Sementara itu, Juli hanya menatap nanar Franco. Mereka berdua terlibat dalam suatu dunia tatap-menatap. Hanya mereka berdua pula yang mengerti arti tatapan masing-masing.

Gua yang berada di dunia luar, hanya bisa melihat mereka dalam diam. Lain halnya dengan gua, Micky malah tersenyum melihat mereka. Baginya, adegan tersebut merupakan adegan terimut yang pernah ia lihat dalam kehidupan nyata -bukan dalam film atau drama.

"Nyanyi dong bonbon! Nih, micnya. Mau nyanyi apa?" Micky menyodorkan mic yang tadi dipakainya ke gua. Setelah itu, ia menyibukkan dirinya dengan layar komputer sembari mencari-cari lagu yang pas.

Gua... Candy... nyanyi?

ASA! Saatnya tunjukkan kemampuan!

Gua pun menyuruh Micky untuk membuka lagu "RED"-nya Taylor Swift. Kalau mereka semua menyanyikan lagu Asia, gua akan menyanyikan lagu barat. Dengan mic di tangan, gua maju ke depan mereka semua dan siap-siap memasuki dunia gua sendiri. Begitu musik memasuki telinga gua, gua pun menutup mata dan mencoba mengikuti irama.

...Losing him was blue like I'd never known
Missing him was dark grey all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Oh, red
Burning red
Remembering him comes in flashbacks and echoes
Tell myself it's time now, gotta let go
But moving on from him is impossible
When I still see it all in my head
Burning red
Loving him was red...

Setelah gua selesai bernyanyi, gua berbalik ke belakang menghadap mereka semua. Semua orang melihat gua. Pandangan mereka tertuju ke gua. Dengan mata kosong hanya menatap gua seorang.

"Bonbon..." -- Micky

"Candy..." -- Juli

"Suaramu..." -- Franco

Gua pun menunduk, siap-siap menerima pujian dari mereka semua. Kekeke...

"...mengenaskan..."

*GUBRAK*

"Ehek...ehek... suara gua... hancur...?" tanya gua, pandangan gua menembus ke lantai. Apa yang salah dari suara gua? Biasanya gua selalu menyanyi di kamar mandi atau sendirian di kamar, dan suara gua bagus kok. Paling tidak, bisa didengarkan. . .

"Aduhduh, telinga gua keknya berdarah. Jul, tolong periksa telinga gua dong." kata Franco sambil menyodorkan telinganya ke Juli.

Juli memegang telinga Franco dan memeriksa serumen alias kotoran telinga Franco. EW. Setelah itu, ia berbalik ke Micky dan bertanya, "Micky! Keknya gua butuh plastik buat muntah..."

Sementara Juli bertingkah seperti ingin muntah, Micky tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk gua. "WOI. Taylor Swift salah apa sih, sampai lagunya lu hancurin gitu??" Saking dashyatnya Micky tertawa, ia menyeka ujung matanya yang dibasahi air mata dan menahan perutnya yang sakit.

Grrr..
Grrr.....
Grrrrrr.....

"YAHHH!!!! KALIAN!!!" Gua meneriaki mereka satu persatu. Tetapi bukannya tediam dan takut, mereka malah makin brutal menertawai gua. Oh, saraf-saraf gua... serasa mau pecah akibat tekanan malu yang terlalu tinggi.

"BRUKAKAKAKAKKA. WAKKAKAKAKKA. HHAHAHHAHAHAH. NGAKAKKAKKAAK KECOAK LU!"

-_-^

Gua pun menghempaskan pantat gua ke sofa paling ujung, sejauh-jauhnya dari makhluk-makhluk itu. Gua takut bisa mati kepanasan karena rasa malu yang luar biasa.

Setelah beberapa lama tawa mereka mereda -butuh waktu sekitar lima menit saking hancurnya suara gua, Juli maju ke depan dan bernyanyi. Gua tidak lagi memedulikan lagu-lagu apa yang mereka nyanyikan. Karena gua sudah terlalu geram. Gua memilih untuk duduk diam dan memainkan ipad milik Juli. Gua memilah-milah ipad tersebut dan menemukan game King of Opera. Gua pun memainkannya sampai waktu karaoke kami habis.

"Lain kali, gua gak mau ngajak lu nyanyi lagi deh bonbon." seru Micky.

Nah, sampai Micky pun masih mengatakan hal-hal itu. Hmmm...

Anyway, gua melihat handphone gua dan mendapati hari sudah malam. Pukul 21.48. Kami pun memutuskan untuk pulang karena besok masih harus bangun pagi dan bekerja. Micky menawarkan untuk mengantar gua pulang ke rumah yang mana hampir gua tolak karena masih memikirkan harga diri yang retak tadi. Akhirnya, Juli dan Franco pergi berdua sementara Micky dan gua berada dalam satu mobil. Setelah menyampaikan goodbye, kami pun berpencar.

"Jangan ngambek dong bon..." kata Micky. Tampaknya ia tahu bahwa gua masih geram atas kejadian tadi.

"Emang suara gua hancur betul?"

Gua menunggu jawaban yang lebih menenangkan jiwa, tapi Micky malah menjawab, "Mendingan lu gak usah tanya." Itu membuat gua makin kesal dan memilih untuk melihat ke luar jendela.

Pandangan gua seketika terkunci. Gua melihat sesosok yang familiar duduk di kedai kecil. Itu...merupakan kedai mie Paman Han. Sosok itu menengadahkan kepalanya ketika Paman Han datang menghampirinya sambil membawa semangkuk mie dan segelas minuman. Sosok itu tersenyum sementara Paman Han duduk disebelahnya. Mereka berdua terlihat dekat dan terus berbincang-bincang. Sejak...Sejak kapan Theo bisa dekat dengan Paman Han?

"Apa yang lu lihat?" tanya Micky.

"Ah...enggak. Gua masih geram, okay!" kata gua memalingkan muka ke depan.

"Okay...okay... Lu mau apa?"

Gua pun memasangkan senyum licik sambil menatap Micky. "Lain kali ajak gua ke taman bermain!"

"Yaelah. Yang lebih high-class dong."

"Whatever."


Micky mengantarkan gua tepat sampai di depan rumah. Gua pun keluar dari mobil dan menutup pintu itu dengan tenaga yang secukupnya. -_- Gua menyampaikan salam gua sambil melambaikan tangan.

"Thanks. Bye! Hati-hati di jalan, okay."

"Okay. Bye bonbon!"

Setelah mobilnya menghilang dari peredaran, gua membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah. Gua mendapati seseorang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.

Dad...

"Siapa yang antar kamu pulang tadi?"

Seketika itu pula, mood yang tadi rileks menjadi kaku. Gua menjawab pertanyaan Dad tanpa bergerak sedikitpun. "Teman..."

"hmmm..." Dad meletakkan korannya ke meja. Ia mengelus kumisnya yang terlihat lebih pendek dari biasanya. Sepertinya Dad baru bercukur. "Walau kamu sudah dewasa, tapi juga harus memerhatikan batasan sendiri. Ini sudah jam sebelas malam."

"Ya, Dad."

"Oh, ya... Bagaimana kamu pergi ke kantor besok?"

"Aku butuh transportasi."

"Bus terlalu berbahaya untuk kamu. Dad dengar kamu hanya bisa mengendarai mobil? Yasudah. Cepat pilih mobil yang kamu inginkan dan beritahu Dad malam ini juga." Dad mengangkat kembali koran tersebut dan membacanya.

"Ya." Gua pun bergegas ke kamar.

Lampu sudah ditutup. Cath sudah tertidur pulas sambil memeluk gulingnya yang berwarna pink. Entah kenapa dengan anak itu, ia terobsesi dengan warna pink. Lihat saja, dengan kepergian gua dinding kamar yang sebelumnya bercorak putih polos berubah menjadi pink... Seharusnya gua segera mengganti warna itu begitu mendapat waktu.

Gua segera mengambil laptop dan meletakkannya di kasur. Gua pun membuka internet dan mulai mencari-cari mobil yang gua inginkan. Masa bodoh dengan pandangan pegawai lain kalau mereka melihat gua menggunakan mobil padahal baru bekerja. Yang penting gua tidak perlu berdesak-desakan dengan orang lain di dalam bus, atau angkot. Gua juga tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk naik taksi. Dan gua juga tidak perlu merasakan debu bertebrangan sewaktu naik becak. Sementara itu, gua juga tidak perlu merepotkan pak Kumis kalau ia yang akan mengantarkan gua pergi.

Hmm... Mobil apa yang harus gua pilih?

Audi A4 sepertinya menjadi pilihan yang paling menggiurkan... :P




//

NEXT PART

Berikan komentar, kritik, atau saranmu okay?! Yeah. :D Thanks sudah mampir dan membaca. :D

  • Share:

You Might Also Like

0 comments