Return 11

Kamis, Oktober 17, 2013

I run. I ride. I rush

Itu adalah sebuah kutipan dari salah satu novel yang gua baca. Dalam novel tersebut diceritakan seorang gadis sangat menyukai motor. Ia suka mengendarai kendaraan tersebut dalam kecepatan tinggi. Merasakan menembus angin kencang di malam hari, dan cepatnya motor tersebut seperti sebuah pesawat jet.

Gua sendiri entah kenapa merasa sedikit, secuil saja, mirip dengannya. Gua juga suka merasakan kecepatan. Bedanya, gua lebih suka mobil daripada motor. Yah, tiba-tiba gua mendapat hobi baru yaitu ... balapan mobil selain makan ataupun salon. Gua suka memotong jalan orang lain ataupun berkendara dalam kecepatan luar biasa di tol. Namun begitu, gua masih merupakan anak unyu, langsing, dan cantik. (:

//

Seminggu kemudian...

Gua mendapat kabar sebelumnya bahwa kantor kami sudah selesai direnovasi sehingga gua sudah boleh mengemas barang-barang gua. Selain gua, ada beberapa orang lagi yang turut mengemas. Mereka diantaranya adalah Franco, Morgan, Dimas, Veronica, dan Sherly. Mereka masing-masing memiliki ruangan sendiri membuat gua iri. Theo juga memiliki ruangan sendiri yang lebih besar dari mereka. Sementara gua, hanya kebagian ruangan berbagi yang terletak di depan kantor Theo.

‘Kantor’ pribadi gua terdiri dari meja yang cukup panjang yang biasa lu lihat di drama-drama ataupun hotel. Selain itu juga ada sofa dan meja kopi yang diletakkan untuk para tamu. Gua juga diberikan komputer, telepon, dan beberapa alat lain yang gua perlukan untuk bekerja. Intinya, kantor gua yang sebenarnya hanyalah sepetak kecil bagian resepsionis. -_-

Setelah merapikan barang-barang, gua pun duduk di kursi besar gua (di bagian dalam meja resepsionis itu loh). Ternyata capek juga, padahal gua hanya memindahkan sekotak barang. Ah, barangkali gua sudah jarang olahraga makanya gua merasa capek. ._.a Haruskah gua fitness? Ke gym gitu biar kerasa kece, duh. ;;) *ehek*

Franco yang sudah siap membereskan barangnya menghampiri gua dan menyampaikan salam selamat. Gua juga turut menyelamatinya karena ia akhirnya mempunyai ruangan sendiri.

“Jadi, gimana kabar elu? Belakangan ini kita punya proyek baru sehingga hampir semua orang sibuk. Gua dengar dari Juli, lu dan Theo punya kemajuan yaaaa. Ehem.”

“Kemajuan rahangmu. Apaan laaa... -__-.”

“Halah... By the way, gua gak nyangka Theo ninggalin elu disitu. Keknya ada yang salah di otaknya. Bagaimanapun juga, ada seorang lady cantik kan...”

“Lu kan temannya, masa dia gak ceritain.”

“Ehm....”

“...”

“Dia bilang sesuatu sama lu?” tanya gua.

“Hmm... Apa Theo ada di dalam? Gua mau chitchat dulu.”

“Eitss... Cowok macam apa yang make istilah chitchat? Jangan sok unyu la ya! Apa yang dikatakan Theo tentang malam itu. Eeerrr... maksud gua, waktu itu.”

“HA... Mau bayar berapa?”

Gua mengambil pensil dan bersiap-siap mencoretkan alisnya dengan pensil. Dengan begitu, alisnya bisa menjadi lebih tebal dan terlihat elegean. Cih.

Franco segera mengelak mengira gua akan mencolok matanya. Dia pun mengangkat tangannya seolah mengaku kalah.

“Oke. Hmm... Tapi omong-omong, sejak kapan lu jadi brutal gini can? O-o”

Ekh...? Juli juga menanyakan hal yang serupa dengan Franco.

Gua merasa tidak ada yang berubah dalam diri gua. Tapi entah kenapa orang-orang (mereka berdua) mengatai gua lebih kasar dari sebelumnya. Memangnya, sebelumnya gua beraksi selembut sutra kah?

“Aish... Kenapa setelah seminggu baru lu bilang ke gua sih. Jadi, apa yang dia bilang.” Tanya gua.

Franco menggaruk kepalanya yang tiba-tiba timbul jamur. “Erm... dia bilang, ada seorang cewek yang ia tinggalkan di lahan kontruksi.”
...

“ISH PALAK LO... Yang serius la, emai.” Gara-gara Franco, gua jadi emosi tingkat teri disini. Apa sih susahnya untuk memberitahukan informasi yang tidak terlalu penting baginya tapi penting bagi gua? Memangnya mulutnya berbusa-busa kalau dia mengatakannya? HAH?

Tiba-tiba, disela-sela pikiran gua yang sudah menuju titik menabrak dinding, pintu kantor Theo terbuka. Franco yang tadinya berada di depan gua langsung menyerbu Theo dan menepuk bahunya.

“Oi... Yahoo... kantor baru tuh.” Kata Franco mencolek Theo.

Theo mengerutkan dahinya melihat kelakuan Franco. Beberapa sepersekon kemudian ia menghela napas menyadari apa maksud aksi centil Franco. “Yayaya... Lo mau makan apa?”

“Aiihh... ;;) Tauh ajah kamuh.” Franco kemudian menutup mulutnya dengan gaya aneh yang kira-kira seperti ini:






CIH.

And then...
Something usual that unusually making me stops...

Theo took a glance of me

...

Ehm

Ehmmmm...

“Maybe you want to come to?” asked Theo.

“Ahh?? Ahh... eehmm...” Tiba-tiba rambut gua timbul jamur, serasa ingin menggaruknya. Apa-apaan ini? Emang gua masih di bangku SMA? Well...

“Duch, sekretarich kamuch maluch-maluch tuch. Hmmm... Yukz ikutz kitaz aza. Nanti aku ajak Juli koq, yuks?”

MANA TONG SAMPAH?! SERASA INGIN MUNTAH SAMBIL NGETOK KEPALA DI DINDING!!!!!!!!!!

“BUSYET DAH. ELO NGIDAP PENYAKIT APA GILAKKKKK!” teriak gua. Jijik banget sumpah.

“Ehem.”

Gua memalingkan muka ke arah suara...

AYOKS NABRAKS DINDINGS!!!!!!!!!! #JLEB

There he is, the all-mighty President of GAKUEN, as well as Theo’s father. And there I am, yelling ‘Crazy’ so loud I want to slap myself. This is super embarassing. How do I do when my boss caught me doing unmanner thing??? HAH? TELL ME RIGHT NOW HUHUHU......huhuhu... *life is on the verge*

“President.”

Both Theo and Franco bow their head to him. I follow them too.

“Ah, kamu pasti sekretaris yang baru yah.”

“Iya, pak.” I try my best to fake the sweetest smile ever.

And it succeed or maybe I fake it too much.

“Your smile is toxic.”

Did I hear it clear?? A president, my boss is telling me that my smile is toxic? Is it some Britney Spears’ joke? Or he is PHP-ing me right now? Or... or... *GAH*

“Hahahaha.” The president is laughing over my pathethic-confusing look. Thank you, I appreciate it.

“Ah... saya ingin bicara dengan kamu.” Said the president to Theo.

“Sure.”

Something in Theo’s face caught my interest. I suddenly remembered the thing he had told me weeks ago. . .

“My dad always asked me to do this, do that, all rules I hate. After Mom’s death, it seems as if he never ever cares about me at all. Like, he always skips my birthday for his business. To him, business is everything. So, one day we got into a big quarrel. Things were so bizarre that time that I decided to runaway… He didn’t even give a f.uck about my rebellion. He didn’t give me money, maybe he thought that I would come back starving to beg for his mercy.”

I carefully look their backs until they really gone inside the room together.

Franco sees me looking at them and asks me, “Mereka awkward kan?”

“Hah?” I turn my head to him. What now? New gossip?

“Sayangnya Theo gak bisa traktir gua hari ini. Hiks. Gua bakal ngasih tau lu rahasia si Theo, asal elu naktrir gua. Gimana? Excellent offer right?”

“As if!” Well, the one coming out from mouth isn’t all the same like from heart, right? I am under that condition. I am eager to find out what really happen between Theo and his father beside from the story he narrated to me. Afterall, I am a girl who love to gossip, aren’t I?

“Well... tapi gua juga mau makan sih. Yaudah.” I answer again, obviously not wanting to crush that offer.

“Halah... ckckck. Fine, kita ketemu setelah pulang nanti aja. Ohya, jangan ngajak Juli yah.”

“Okayyyy...”


//

“So...”

“Sooo.....?”

“Are we gonna talk in this place?”

“Why not?” answer Franco as he orders his food.

After our job has done, we went on our separate cars while Franco guided the way. I never thought that the place he would choose is a super-hot-and-spicy noodles stall in a streetway. I mean, I’m find with that but not when all of the customers are wearing their school uniform while we are the only person wearing our office outfit. I felt old already.

“Mba mau makan apa?” ask the waiter.

“Hmmm... Mie goreng level 3 tambah telur dan teh manis dingin.”

“Oke... ditunggu ya.” the waiter write our orders and go away.

Franco then diligently clean our table with tissue. “Kenapa? Lu merasa out-of-place?”

“Yaiyalah kunyuk.”

“Hmmm padahal waktu malam semua anak kampus sih.”

“Mungkin ini masih terlalu ‘pagi’ buat mereka. Kita salah masuk gelombang tahu gak.” komentar gua.

“Udahlah, yang penting lu yang bayar. Jadi mau dengar ceritanya gak?”

“Apapulak itu?! Mau dong, gimana sih.”

“Jadi... I’m going to the point before I can’t explain it to you anymore. Kamu pernah dengar kalau Theo keluar dari rumahnya?”

I nod my head. I heard it directly from the person, though.

“Sejak kecil, ayah Theo selalu sibuk ini-itu. Mereka bahkan jarang ketemu walau serumah. Ayahnya akan pergi pagi-pagi dan pulang malam-malam. Kerja keras ayahnya terbayar karena sekarang perusahannya sudah makin berkembang. Tapi, hubungan keluarganya malah makin merenggang. Mama Theo gampang sakit. Ketika mamanya meninggal, Theo tidak memiliki seorangpun yang dapat menghangatkannya dari rumah dingin itu. Dia kesepian. Disamping itu, ayahnya malah memaksanya untuk melakukan hal-hal orang dewasa, urusan kantor gitulah. Theo gak suka, dia membangkang. Suatu kali dia terlalu muak hingga keluar dari rumahnya.”

Oke sejauh ini, kurang lebih gua sudah tahu ceritanya. Gua perlu mendengar sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak Theo katakan ke gua hari itu.

“Sewaktu dia keluar dari rumahnya, ayahnya sama sekali tidak memberikan apa-apa. Bahkan ia seperti anak jalanan. That’s how I met him in high school. Kita di sekolah yang sama lho, can.”

WHAT THE?

“Yeah... I heard rumors about you, can. Back again. Jadi... Untuk membayar uang sekolahnya ia pergi mencari pekerjaan dimana-mana. Lalu, cerita selanjutnya bagaikan kenangan terindah dalam hidupnya. Dia mendapat pekerjaan baru, teman baru, dan kisah baru. Kalian kenal sewaktu SMA kan? That’s when you entered his life.”

Okay, this have to be more interesting. Things about myself? Hmmm...

“Sebenarnya sewaktu itu, gua gak kenal elu. Tapi gua mendengar rumor tentang lu, tentang ayahmu juga. Semakin lama kalian semakin dekat. Entah itu karena Theo memang playboy atau cuman merasa lu spesial. Sejujurnya dulu kamu cantik loh, suer. Tapi... you don’t have any friends back then, do you?”

I nod again. That is absolutely true. Thinking about it again making me feel uneasy as I thought how protective my father is.

“Do you know why?” ask Franco.

“Kind of.”

“Hmm... You guys were actually already meeting your halfway. But, your rumor, his pride and his condition just didn’t click. That’s why your story paused like that.”

Paused? His pride? His condition? Didn’t click? My rumor? “I don’t understand.”

“You don’t have to because...”

“because...?”

Not so long after, a male waiter gives us our noddles.

“Because I want to eat now. And that’s the end.”

“What?”

Franco picks his chopstick and begins to eat his noddles in the slowest motion. As if he is caressing the noddles strain by strain. Me, too, grab my stick and eat my own level-3 spicy noodles.

I haven’t reach my second grab, yet my mouth has already feel so hot. I mean IT’S SO HOT, SPICY, SO OHMYGOD MYLIPSISBURNED!! WATER!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

"HAHAHAHKAAHKHAHAKK!!!!!!" Franco laugh when he sees me panicking. But not so fast! He choked himself. FOOL YA! HAHAHA

Amidst the super spicy taste which my mouth has to overcome, my mind is reeling over the things Franco has said to me. I just can’t accept it normally if I am discussing over the reason behind Theo denying my confession. It’s still mystery although from two years had past.


//

*bibir doer*

Franco is cheating me!! 

I look at my own reflection and frown. DUH. My lips is so sexy (gotta say it in the positive way) 

Catherine who has just go home after having a date laugh on the floor when she sees me. GAH. She just do not want to stop even after I hit her in the head. THAT BRAT!

"OHMYGODDDDD You gotta be kidding me! Mulut lu kena cium lebah?" 

"GIGIK MU KUNYUK. Gara-gara makan mie pedes mampus tuh. Ah, gak nyangka bisa sedoerr ini... Hiks hiks..."

"BRUAKAKAKAKAKAKKA... EKSTRIM SIH LO. Emang lu makan level berapa?"

"Level 3."

"Hah?" Catherine stop her laughing for a second. And she laugh all over again. "cuma level 3 udah sedoer gitu? Coba kalo level 10? Mampus tuh bibir lo setebel lemak lo dulu."

"DIAM lah. BISING." 

"CIH." 

*ringringring*

"Handphonemu tuh." I said. 

Catherine pick her phones quickly, then she answer it with almost 360 degree cuteness. I bet it's her foreign friend because she talk with foreign language. "Yeobeoseyo? (Halo?) Ah, Seungho oppa! Why do you call me?"

Oh... Catherine do grow up, huh. Hearing "Oppa" word making me goosebumps. Ah, my lips shaking. Ckckck.

"... MWO?! Neo chigeum... Anni, YOU ARE IN FRONT OF MY HOUSE??!"
WHAT? THE? I do not think she will grow up that fast to invite someone, a man, to come to her house...! This is too fast! What am I thinking? OHGOD. MY... MY LIPS! MY SEXY LIPS. WHY DID YOU HAVE TO TRANSFORM THIS DAY?! FRANCO YOU JERK!

"Okay... okay... I will go down now." Catherine throw her phone to her bed. She comb her hair using her bare hand and look at her appearance in the mirror which I am using. 

"Do I look okay??" 

She do not even need my answer. A few second later, she is already downstair opening our gate to a brand new man. 

OHMY, why is my stomach flying butterfly? Ah~ Teenage love is cute... 
But... isn't Mom at home now?

//

My curiosity drive me down stair. I peek our parlor to see a young man taking a quick tour at our house. Cath is his guide. I look my surrounding to see if Mom is there. And... to my shock, Mom is there preparing tea for the two of them! 

I go down to the kitchen to talk with Mom. 

"Mom, gak apa-apa itu ada anak baru datang?"

"Ohmy, Candy... he is the first one to come! Isn't that cute?" 

"NO." 

Honestly, no. Honestly, although I think they are cute. But deep inside I envy them too much to the point I might seed hatred to them.  Cath is so lucky! She is free to bring anybody home. When... I ... in her age. I didn't have anybody. Isn't she lucky? She gets what she wants, nobody restrain her. 

"And who is she?" ask somebody behind me.

A man with stylish hair and somewhat Korean style outfit greet me. 

"Your lips is ... some kind of unique."

*GUBRAK*

TT__TT "Thanks. Today, mine's awesome." I must be crazy. 

Forget what I have thought earlier. FORGET IT. Although my lips is twitching, and this is unfair, but this boy is too cute to resist. I don't really get the point myself, actually. But ... just forget my worry and focus looking this boy. *PERVERT*

He has a brown hair, tall structure, fine build, and handsome face. But one thing that is disappointing, he's younger than me. *PERVERT*

MY my... The super spicy noodles must have take over my brain. Am I really this perverted? Mygod, YOU SUCK BRAIN! The noodles must have some drugs. Whatever!

"Hi. I am Candy. I am her sister."
"I know. Name's Choi SeungHo. Nice to meet ya." that boy introduce himself, less than 5 seconds.

-__- 

I pinch Cath back. "What do you mean by that?" I whisper her, pointing to the boy that have already walk away.

"Oh, dia orang Korea. Barusan jalan-jalan sama keluarganya. Tapi, ternyata dia kesasar sampai sini... Eh, SeungHo where are you going?"

Pengen bilang 'modus' tapi pastinya anak itu gak ngerti artinya. CIH. 

"SeungHo, why don't we sit back and drink tea while waiting for your niece to pick you up?"

"What? Dia punya sepupu disini?" I asked.

"Iya... Seharusnya sih dia uda nyampe sekarang." 

*ting tong*

"Ane u mia. . . (hokkien phrase for someone to appear just when he/she is being talked)"

"I will open the door." I said. 

I go to the front door. I am shocked. 

"Hey! :) I'm his guardian."

The one who is picking that boy up is no other than... MICKY.

"EH?"

OWMY. THAT'S CUTE! Now, I have somebody, a man, visiting my house. *teplak* *PERVERT*

I invite Micky to my house. He introduce himself as my friend and also Seungho's family. His friendly manner somehow makes my Mom blushing. Cath is pinching me, making those 'and-you-have-foreign-friend-too' face. Aw, thanks to Micky, I have some pride to show-off. 

"Hyung, keu yeoja, neon chingu ga? Eiii... Seolma..." I heard Seungho whispering to Micky. Unfortunately, I do not understand alien language they said.

"Now, why don't we enjoy tea while chatting?"

"Okay..." answer Micky.

//

"Lu gak pernah bilang punya sepupu Korea!" kata gua.

Setelah Mom mengundurkan diri dari berbincang bersama Micky dan SeungHo, giliran gua dan Cath yang mendapat kesempatan. *ngawur dikit* Cath mengambil kesempatan untuk memberikan tur rumah kedua pada SeungHo yang mana diterima baik oleh cowok itu. Mungkin dia terlalu bosan setelah menjawab berjuta pertanyaan dari Mom. Sementara itu, gua dan Micky masih berada di ruang tamu berbincang-bincang tentang banyak hal.

"Karena gua pikir elu udah tau."

"Gimana gua bisa tahu?" 

"Dari nama gua dong. Micky. Park. Masa gak ketara sih?" 

Oh iya. Gua merasa jadi orang idiot yah. *teplak*

"Anyway, gimana kabar lu?" tanya gua.

"Fine. Don't get too shock if I get too popular!" Micky mengedipkan matanya. 

"Maksud lo?"

"Ohiya, gua belum bilang yah. Sebenarnya kerjaan gua itu, jadi penyiar radio."

#JLEB

Micky mengangkat kedua tangannya, seolah menyuruh gua untuk berhenti. "Woohoo... sabar, sabar. Hmm... Kasih tahu gak yaaaaa. Hahahaha... Untuk jenis pekerjaan gua, gua gak mau kasih tahu dulu. Tapi... sedikit berhubungan dengan komputer. Dan saking bangganya, gua naktrir lu makan, okay!"

Ternyata itu yang dia maksud dengan 'sedikit berhubungan dengan komputer'...

Tiba-tiba gua kepikiran Theo...

"Omong-omong..." kata Micky. "Ada sesuatu yang rasanya perlu gua kasih tau ke elu, bonbon. Sebenarnya gua gak yakin sih."

"Iya kenapa?"

Gua yakin pasti ada sesuatu yang janggal. Buktinya aja, dari reaksi Micky yang gak seheboh dulu. Padahal dulu setiap kami bertemu, kami akan heboh sejenak. Tapi tadi, dia hanya menyapa, 'Hey!'. Orang idiot pun akan tahu perubahan suasana yang terjadi.

"You know. I work at... Brand Radio."

That sounds familiar.

"And I found a lot of envelopes there."

Somethings is fishy.

"I found this."

Micky memberikan beberapa carik kertas dari tasnya. Kertas-kertas itu tersimpan rapi dalam amplop berwarna merah muda. Tulisan yang tertera disana rapi dan familiar. Harum kertasnya pun nostalgik.

Kemudian, sebongkah batu rasanya menindih dada gua. Batu itu menoreh bungkusan tipis  yang selama ini melindungi isinya. Bungkusan itu koyak dan menumpahkan isinya. Isi bungkusan itu berserakan tak beraturan. Rasanya mustahil untuk bisa memperbaiki bungkusan itu seperti sedia kala.

A letter written by myself.
A letter written by him.
Our photo.
Our history.
His condition.
His pride.
My rumor.

Tangan gua gemetar. Micky tahu apa yang ia berikan dapat mengubah sesuatu. Ia segera beranjak dan pergi mencari SeungHo. Setelah ia mendapat SeungHo, ia pun pergi. Cath pun kembali ke kamarnya.

Now, there's only me and a bunch of papers.

It is as if... the world is spinning rapidly. I can't look straight. I am fragile.

I take a quick look to the letter again...

"I am sorry... I didn't mean to reject you..." 

//


NEXT PART

  • Share:

You Might Also Like

0 comments