The Wanted Fake Tears

Kamis, Januari 17, 2013

Do you know, sometimes you should watch sad drama?
Do you know, sometimes you should read sad novel?
Do you know, sometimes you should watch horror movie?
Do you know, sometimes you should play extreme game?

It is because, if you do it, you would cry or scream. . .

You can freely cry or scream without anyone complain.

I think I would really need them.

But tears and scream, you can't do it if you push it. It is what I felt.
I can't scream or cry when I told myself to.
I can't push myself to do that in a safe place.
That's why... I need an impingement.

Ketika gua berharap gua bisa menangis di saat yang gua inginkan, air mata susah keluar.
Air mata yang terpendam tidak bagus untuk jiwa.
Itulah mengapa gua perlu sebuah pelampiasan, sebuah medium yang bisa membuat gua melakukan hal itu. Supaya gua bisa mengekspresikannya dengan benar.


Five years... Since five years ago... I always thought that these five years had been a dream to me.
Since I lost him, since we were apart, since we changed, since that, I always thought that this is dream. A long, long, long dream that I could not wake up to.

Five years ago, gua masih seorang anak SD kelas 6. Itu adalah tahun terakhir gua satu kelas dengan dia. Dan setelah gua lulus sekolah dasar, gua pindah ke SMP.

Waktu masih SD, bisa dibilang gua itu bodoh. Pernah suatu kali gua dapat kesempatan untuk ujian di buku "sakti", buku yang khusus dipakai untuk orang-orang tertentu. Gua pun ujian di buku sakti itu, dan ... It was a disgrace -BIG DISGRACE- for me. As no one ever get the same score as me. Dua puluh. Gua dapat nilai dua puluh dari ujian tersebut. Memalukan banget kan? Huh...

Semenjak SMP, gua seperti mendapat sihir or something. Gua begitu terkejut ketika dibagi Rapot. Bahkan teman-teman gua juga terkejut. Gua yang dulunya pernah mendapat nilai dua puluh, sekarang mendapat juara tiga. O-O Isn't that something?

Sejak saat itu... rasanya otak gua berubah karena pengaruh sihir... ha ha ha

Kelas delapan gua juga juara sepuluh besar. Kelas sembilan juga. Kelas sepuluh juga. Dan yang paling unbelievable, kelas sebelas juga.

As I ever wrote, gua masuk ke kelas plus. Kelas plus itu kelas anak-anak pintar. Bahkan banyak yang lebih pintar di kelas itu dari gua. Tapi... layaknya kelas tujuh, gua seperti berada di bawah pengaruh sihir.

Kelas sebelas gua juga juara sepuluh besar. Tepatnya juara sepuluh dengan paralel 115 dari 6xx orang.

Saat gua dengar Pak Roy mengumumkan bahwa juara sepuluh adalah gua, my jaw drop. Itulah kali pertama gua menyadari, gua seperti berada dalam mimpi. Bahkan SO, yang technically lebih pintar dan rajin dari gua mendapat juara 14. Dan gua 10??

If this isn't a dream, then tell me what it is.

Karena gua gak merasa diri gua pintar, gua juga gak merasa diri gua rajin. Dan terlebih lagi, gua gak merasa diri gua pantas mendapat juara 10. SO lah yang menurut gua lebih pantas, atau Cassiopeia. As long as it's not me, I can believe it.
I ... am miserable, am not I?

.  .  .


haaah...

>That day when he held my hand, that day when he wanted to teach me Kokoronotomo, that day when he chose me as vice monitor, that day when he was doing his lab project, and all those day. I kept thinking about it again.

It was him that made me crazy, it was also him that I thought this was a dream, it was also him that kept running in my mind. Do I look miserable now? Because I blame him?

. . .

Remember, "fake" tears to show the true tears you held in . . .

Ha ha ha... I became cheesy now... .........
........

  • Share:

You Might Also Like

0 comments