Ketika gua baru masuk SMA di sekolah baru, gua susah beradaptasi. Pernah suatu kali gua di ajak ‘berteman’ oleh sekelompok cewek di kelas gua. Mereka cukup terkenal karena gaya hidup mereka yang lumayan hedonis. Ketika cewek-cewek itu mengetahui bahwa gua juga orang kaya, mereka mendekati gua layaknya kami sudah berkenal sejak dulu.
“Hey... mau ikut kita?” tanya seorang yang kelihatan lebih senior dari mereka.
Wajah gua lumayan berbinar ketika akhirnya ada orang yang ingin mengajak gua jalan. Gua pun menganggukkan kepala dan kami akhirnya pergi. Dia mengajak gua ke salah satu tempat makan di pinggir jalan bersama enam orang lainnya.
Di meja makan, mereka berbicara mengenai betapa bagusnya dress yang baru dibeli, betapa wanginya parfum yang dihadiahkan, betapa manisnya pacar mereka masing-masing. Sang senior mencoba memasukkan gua ke setiap perbincangan mereka namun gua gak pernah merasa nyambung dengan apa yang mereka omongkan. Seolah-olah semua yang ada disana penuh warna dan gua duduk sendiri di ujung, abu-abu.
Ketika ingin membayar, sang senior dan yang lain hanya diam menatap gua.
“...Karena lu anak baru, lu yang bayarin makan kita hari ini ya!”
Gua berpikir tidak apa-apa asalkan mereka menganggap gua teman.
Gua berpikir tidak apa-apa asalkan gua bisa beradaptasi.
Gua pun mengeluarkan uang gua, membayar bill, dan pulang.
Namun, entah kenapa, setiap kali kami pergi makan bersama-sama, mereka selalu memberi seribu satu alasan untuk membuat gua membayar semua yang mereka makan. Semua itu terjadi sekali, dua kali, dan berkali-kali sampai akhirnya Dad sadar apa yang sedang terjadi. Itulah awal dari segalanya.
Dad merupakan ayah yang penyayang. Tapi ketika miliknya yang berharga berada dalam bahaya, ia akan melakukan segala cara untuk menjaganya. Termasuk membuat miliknya membencinya.
Ketika Dad tahu gua sering bergaul dengan cewek-cewek hedonis yang memanfaatkan uang orang lain, ia memanggil gua untuk berceramah. Mom hanya duduk di tepi mendengar, karena ia juga tahu bahwa gua salah memilih teman. Gua pikir semua akan baik-baik saja kalau gua berhenti membayar makanan mereka.
Tapi ternyata Dad tidak berhenti begitu saja. Ia bukan hanya menceramahi gua, tapi juga semua cewek-cewek yang memanfaatkan gua. Itu kenapa setelah insiden tersebut, gua selalu sendiri di sekolah. Gua merasa begitu menyedihkan, dan mengasihani diri sendiri sampai akhirnya gua mulai membenci Dad. ‘Andai saja Dad hanya menceramahi gua, andai saja Dad tidak ikut campur dalam urusan gua, andai saja Dad tidak perlu berbuat apa-apa maka ini semua tidak akan terjadi.’ Selama masa SMA sampai belakangan ini, gua selalu menyalahkan Dad atas segalanya.
‘Candy itu cewek yang tidak boleh didekati, kecuali kalau ingin berhadapan dengan ayahnya’ Itu adalah rumor mengenai gua saat SMA, yang baru gua ingat lagi ketika Theo mengungkitnya kembali semalam.
Setelah ia mengungkit rumor yang pernah bergerumul di masa lalu, gua merasa sebuah batu menimpa dada gua, berat. Gua pun mulai berpikir kembali, ‘Gua pikir Theo berbeda. Tapi ia sama saja dengan orang-orang lain yang melihat sesuatu dari luar saja. Ketika ia mendengar rumor itu, ia pun mundur.’
Kemudian gua merasa kesal dan batu itu serasa semakin membesar.
“Tahukah lu kenapa gua merasa sangat menyesal mengenai kejadian itu sampai sekarang?” tanya Theo.
Gua pun berhenti berjalan, begitu juga dengan dia.
Itu adalah pertanyaan yang membuat gua penasaran. Kenapa dia melakukan semua itu dan semua ini? Kenapa rasanya ia membuat hal menjadi begitu besar ketika seharusnya itu adalah hal-hal yang biasa-biasa saja? Atau mungkin gua yang terlalu sensitif juga turut andil dalam memperbesar masalah?
“You know, gua merasa pride gua terkelupas.”
“Hah?”
Theo memandangi muka gua, seakan meneliti seberapa banyak pori-pori yang gua miliki. Lalu ketika dia selesai menginvestigasi semuanya, ia pun mengajak gua,
“Mau minum bir?”
“Hah?”
Gua membelalakkan mata akibat ke-absurd-annya. Dari semua minuman yang ada dimuka bumi ini, kenapa tiba-tiba ia menawarkan bir? Entah kenapa gua terbayang wajah Juli yang tergila-gila pada bir Korea yang namanya Soju dan kemudian membayangkan adegan kami berdua mabuk berat dan kemudian kami berdua...
“Gak perlu imajinasi tinggi, can...” Theo membuyarkan lamunan gua.
“Ohh... gak gak ... siapa yang imajinasi??” Gua merasa begitu malu sampai ingin menabrak dinding sekarang juga. Entah kenapa rasanya seperti ketangkap basah menonton video biru. Shit. “... Yaudah, mau minum dimana?”
“Hahahahhaa...!!!” Theo menahan perutnya yang mungkin akan copot akibat tertawa begitu imut.
Ah... shit...
“Gua gak pernah nyangka lu seimut ini, can!” seru Theo sambil mengacak-acak rambut gua dengan kasar.
Gua hanya berdiam diri di situ. Diam-diam menikmati gerakan tangan Theo yang barusan. Melihat Theo yang tertawa sambil mengacak rambut gua, membuat gua merasa ingin melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu, merelakan dan memaafkan segalanya, lalu memulai lembar yang baru lagi.
Tanpa sadar (atau ‘ingin tanpa sadar’) gua menggapai tangan Theo yang sekarang tengah menunjuk-nunjuk muka gua.
Theo yang menyadari gua menggenggam tangannya, mulai berhenti tertawa.
“Okay...” kata gua.
Theo melihat gua dengan pandangan bertanya-tanya.
“Tentang ulang dari awal. . . Gua bilang itu okay.” Sambung gua lagi.
Semua yang telah terjadi punya alasan masing-masing.
Layaknya Juli yang mulai menerima Franco. Gua juga ingin mulai menerima Theo lagi.
Ketika gua mendengar Theo mengatakan harga dirinya terkelupas, gua akhirnya tersadar bahwa Dad pasti bertemu dengan Theo untuk membicarakan sesuatu hal secara rahasia. Tentang hal apapun itu, gua yakin Dad hanya ingin menjaga gua. Sementara Theo. . .
“Tapi sebelum itu, apa Dad gua merupakan satu-satunya alasan lu nolak gua?”
Theo melihat gua lagi, namun kini dengan seulas senyum kecil. “After I answered your questions, does that mean you’re mine from now on?”
“What?!”
“You’re pretty back then, so face are not the factor here.” Theo mulai berbicara sambil berjalan.
Gua yang masih di belakang belum mampu mencerna apa yang terjadi hanya bisa, “What?!”
“You’re not so smart. But stupidity is not the factor here.” Theo kembali berjalan beberapa langkah.
Gua masih, “What?!” sambil berjalan mengikuti Theo.
“Maybe it’s really your father?”
“What do you mean?”
Theo berhenti berjalan. Sayangnya, gua gak menyadari itu, dan gua pun menabrak punggung Theo.
Theo pun berbalik. “Is it me that want to run from the situation, or is it me that ...”
.
.
.
.
Pertama kali, gua pikir Theo sedang ingin menggombal. Tapi kemudian gua melihat alasan lain di matanya ketika kami melihat satu sama lain. Ia masih punya sesuatu yang belum dapat disampaikan ke gua, yang mungkin merupakan hal sensitif yang dapat membuatnya down. Melihat ia tampak seperti anak galau, I can’t help but spread my arms to hug him.
Gua pernah berimajinasi bagaimana rasanya memeluk Theo. Gua berpikir itu akan sama seperti memeluk bantal guling, mungkin terasa lembut. Namun ketika malam itu gua memeluk Theo, gua bukan hanya merasa kelembutan, tapi juga kehangatan. Gua merasa aman ketika mendekatkan diri dengannya. Terlebih ketika Theo turut memeluk gua, meletakkan tangannya di punggung gua.
I thought for this scene to happened long time ago... but never expected that I would be one that initiate it.
“Thankyou . . .” kata Theo.
‘Your welcome...’
Neither of us pull away, which makes the hug last longer, deeper, and hotter. We stand there and hug each other until I heard my own heart beating so fast. I tried to pull away because of the embarassment, but Theo pull me back so that we can sense our own fast-beating heart. It does sound dramatic, poetric, or honestly erotic, as it might be.
“Cieeeeeee...” tiba-tiba anak-anak berumur sekitar 6 tahunan mengelilingi kami sambil berseru cieeecieee.
Lalu seorang anak lain yang lebih tua berseru, “Kakak pacarannya jangan di tengah jalan atuh. Ntar kakak-kakak yang jomblo kecelakaan.” Itu berhasil membuat gua geli dan melepas pelukan erat gua.
Theo juga turut tertawa dan berkata balik, “Emang kalian tahu apa tentang pacaran?”
“Pacaran itu kan ketika cewek dan cowok peluk-pelukan, cium-ciuman, ... terus kalo udah serius, kakak baka—“
“Heh! Bumus, Marsus, Yupiterius,Saturnus, Uranus, Neptunus, Plutus!Kalian ngapain malam-malam gangguin orang...” seru seorang ibu-ibu, ia sedang mengenakan daster, menunggu anak-anaknya dari ambang pintu. “Ckckck kalian lagi! Berduaan tuh jangan di depan anak-anak! Candle light dinner kek, nonton kek, apa kek. Masa di jalanan? Gak punya uang yah?”
Perkataan ibu itu membuat gua, dan anak-anak lain terkejut. Burmus sampai Plutus berlari-lari masuk ke rumah ibunya sambil meneriakkan, “Cieeeee...!” Lalu ibu mereka pun menutup pintu dengan keras.
Gua melihat Theo yang ternyata berbalik ke belakang menahan tawa.
“Kenapa lu?”
“Emang kita miskin banget yah, pacaran di tengah jalan sampai-sampai mother of planetus muncul? Hahahah...”
“LOL...Siapa suruh kita jalan di tengah jalan?”
“Siapa coba yang peluk duluan?”
“Ya itu...” gua ya... Hmmm...
“Kalau gitu gua yang peluk duluan.”
Lalu Theo pun memeluk gua lagi.
//
“Whoahhhhh! Muka lu kenapa mengkilap banget Can? Serasa baru ... ngapaiiiin gitu.” Seru Franco.
Gua melihat Franco yang mempunyai pandangan mencurigakan yang tidak bisa gua ungkapkan dengan kata-kata. Wajah Franco yang ekspresif sungguh sebuah maha karya yang pernah gua temui. Tapi sayang, terkadang maha karya itu membuat gua setengah mau muntah.
“I see that you don’t use perfumes today...” I smirked.
Muka Franco menjelaskan seberapa malunya ia semalam. Memangnya siapa yang akan terpikat oleh parfum sebotol? Gua saja terkejut Juli masih dapat bertahan candle light dinner sama kodok.
“Anyway...” Franco mengganti topik. “Gua Cuma mau nanya gimana lu menghabiskan gaji pertama nanti...”
Gua pun melihat ke kalender dan mendapati angka 29 yang di lingkar. First pay-day.
“Menurut lu...?” tanya gua.
“Menurut gua, sebagai teman yang memberikan kamu peke—“
Pikiran Franco gagal diungkapkan ketika Theo keluar dari ruangan dan memotongnya, “Apa yang kalian obrolkan di depan ruangan gua?”
“Suprisingly, gua curiga dengan muka kalian berdua yang kinclong.” Kata Franco sambil melihat Theo dan gua secara bergantian.
“Otak lu udah kegeser gara-gara parfum semalam deh.”
“Lu ketemu Franco semalam?”
“Iya. Dia dengan kemejanya yang terbuka sebagian, rambut yang basah-basah-pomade, ditambah lagi dengan aroma memikat...” kata gua tersenyum sembari geleng-geleng kepala.
Theo menatap gua dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan, membuat gua merasa perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dibanding membuat lelucon seperti tadi.
“Er... Umm... Gua ke rumah Juli dan ternyata Franco lagi disana... Terus, Juli datang dan gua pulang.”
Franco kembali melihat gua dan Theo dengan bingung. “Whoahoah... Tunggu, sejak kapan Candy melapor hal-hal pribadinya? Hehehehehe...”
Gua memandang ke bawah, merasa malu sendiri.
Ketika gua mengintip ke arah Theo, gua menemukan ujung bibirnya yang tertarik.
Apa dia tersenyum? Atau apa?
“Okaydeh... Gua bakalan pergi tanpa perlu kalian yang suruh. Can! Ingat yang tadi gua bilang!”
“Asem lu.” Seru gua.
“Hari ini gak ada yang penting kan?” tanya Theo.
Hmm... Dia bisa menanyakan hal itu dari telepon, tapi dia berjalan keluar. Jangan bilang dia mau ngeliat gua? Hmm... Gua melihat ke agenda dari komputer, tidak menemukan apa-apa.
“Okay... gua mau pergi ketemu orang.” Theo berkata sendiri lalu masuk ke ruangannya.
Gua terdiam.
Theo pun keluar lagi mengenakan jasny dan tas kantornya.
“Mau pergi kemana?” tanya gua.
“Ketemu Winnie.”
Handphonenya berbunyi, ia mengangkatnya sambil berjalan ke lift. Meninggalkan gua.
It echoes through me.
Ketemu Winnie.
Kenapa harus ada nama wanita itu disini?!
Gua melihat ke arah Theo, berharap ia akan melihat gua kembali dan melambai. Tapi sayangnya itu gak terjadi. Gua ditinggal sendiri di kantor, dengan dipenuhi segala kemungkinan adegan yang terjadi antara Theo dan Winnie.
Damn Theo.
//
Gua melihat ke arah jam untuk sekian kalinya dan akhirnya ia berhenti di angka 12. Sudah jam 5 sore. Gua bergegas mengumpulkan semua perlengkapan gua. Ketika gua ingin mengeluarkan hape untuk menanyakan keberadaan Theo (yang mana turut membuat gua terkejut), seorang perempuan berdiri di depan meja gua. Gua pun berhenti berberes dan memberi hormat pada orang itu.
“Kamu Candy, sekretaris Theo?” tanya perempuan tersebut.
Gua mengangguk.
“Saya lihat kamu sudah bergegas pulang, apakah kamu ada masalah?”
Masalah dengan Theo, mungkin. Tapi gua menggeleng kepala. “Ah... tidak.”
“Kalau tidak, bisakah kamu ke ruangan saya sebentar?”
“Eh?” Gua melihat perempuan itu lagi. Mukanya terlihat begitu familiar. Setelah beberapa lama berpikir, gua akhirnya menemukan profilnya di otak gua. Hilda Winnata, divisi HR. Tapi kenapa?? Gua gak tau apa yang terjadi, namun gua yakin bahwa gua perlu menurutinya sekarang. “Okay.”
“Okay... Sudah siap beres? Silahkan bawa tasmu juga.”
“Okay, bu.”
Perempuan itu melihat gua sinis, barangkali karena gua memanggil dia dengan sebutan ‘bu’. Gua tidak tahu antara meminta maaf atau tidak karena panggilan bu adalah sebutan yang cukup formal. Apalagi dia memang seorang ibu dengan satu bayi. Bu Hilda meyakinkan semua barang gua telah dibawa lalu memandu gua ke ruangan Human Resource.
Disana, sejumlah meja ditata rapi. Semua memiliki pegawainya masing-masing yang sibuk bertelepon, atau mengacak-acak file.
Hilda berhenti di sebuah meja kosong di ujung ruangan. Ia pun duduk di kursi meja itu. Lalu ia membuka satu file dan membolak-balikkannya.
“Candy. Umur 21 tahun. Tamatan SMA. Sekretaris pak Theo. Why don’t I see the picture here?”
“Eh?” Otomatis, gua berdiri dengan sikap istirahat tangan di depan. Gua memandang ke bawah, merasa offended.
“Bagaimana... seorang tamatan SMA... bisa menjadi sekretaris? Saya dengar kamu sempat kuliah bisnis, tapi berhenti di tengah jalan.”
Mungkin otak gua tidak berjalan dengan baik hari ini, sampai gua bisa beraninya membalas, “Tidak semua tamatan SMA tidak berguna dan tidak semua tamatan kuliah berguna.”
Bu Hilda menginvestigasi gua dari ujung atas sampai bawah.
“Apapun itu, Theo tidak membutuhkan sekretaris lagi. Jadi, saya ingin memindahkan kamu ke divisi lain. Tim marketing sedang kekurangan orang, mau kah kamu di pindahtugaskan?”
Lagi-lagi gua dibuat tercengang oleh perkataanya.
“Ah... masih ada waktu seminggu sebelum payday kan? Kamu akan tetap menjadi sekretaris. Namun, bila kamu tidak ingin dipindahtugaskan, itu berarti kamu membatalkan kontrak kerja dan wajib membayar sejumlah kompensasi dan keluar dari kantor ini.”
Mendengar kata konpemsasi dan keluar, gua mengernyitkan dahi. Apalagi ketika pegawai-pegawai di sekeliling melirik ke arah gua, memikirkan sejumlah gosip baru.
Tanpa berpikir panjang, gua langsung menjawba, “... Kalau begitu, saya akan pindah ke tim marketing.”
Gua gak tahu kenapa Theo tidak memerlukan seorang sekretaris lagi, tapi gua gak mau menjadi pengangguran padahal baru bekerja selama beberapa bulan.
Mendengar jawaban gua, Hilda Winnata menelusuri setiap milimeter wajah gua kembali. Mungkin ia mempunyai mata superpower yang dapat mendeteksi setiap otot yang berkontraksi di wajah manusia. Namun, ketika dia tidak memberikan komentar apapun tentang jawaban gua, pikiran mata superpower itu menghilang, digantikan oleh perkataannya selanjutnya.
“Kalau begitu, silahkan isi form pemindahan berikut. Ruangan marketing ada di lantai 15. Minggu depan ketika kamu sudah pindah, ada senior yang akan mengajari kamu semuanya. The whole proccess is already set for you, so there wouldn’t be a problem. So you can go now. Send me back the form tomorrow.”
Dia secara tak kasat mata, mengusir gua keluar.
Gua pun mengambil form itu dan pergi, tidak mengacuhkan pandangan penuh tanya dari pegawai lain. Ketika gua hampir di penghujung pintu, gua mendengar Hilda Winnata.
“Yang benar-benar saja. Sampai hal sekecil itu pun harus gua yang urus. Ckckck...”
Gua mengernyitkan dahi sambil meninggalkan ruangan.
//
I need an explanation.
Desperately.
Pikiran gua terlalu terpenuhi oleh Theo, Winnie, dan pekerjaan gua. Masing-masing memiliki masalah tersendiri yang membuat kepala gua terlalu penuh untuk diisi.
Gua mengeluarkan handphone gua, berharap akan ada notifikasi keluar dari benda kecil itu yang dapat memberi gua penjelasan. Tapi ternyata gak ada. Gua pun terdiam. Sialan.
Menghabiskan waktu di kamar sendirian karena Cath sedang sibuk berkeliuran dengan temannya, gua pun membuka segala macam aplikasi yang gua punya di hape. Scrolling instagram, scrolling path, stalking orang. Gua melihat semua komentar-komentar yang sesungguhnya gak penting untuk dibaca.
Oh, sudah berapa banyak berita yang gua lewatkan?
Ketika gua lagi asyik nge-stalk akun temen-temen gua, sebuah notif muncul.
At last!
Gua segera mengeluarkan applikasi-potensial-untuk-nge-stalk, membuka notif dan membacanya. Ternyata Micky.
Woe, bonbon. Lagi ngapain?
Gua : Lagi nge-stalk
Micky: -__- Bego lu.
Gua : Asem. Apa hub bego sama nge-stalk? _-_
Micky: Gk ada. Cuma mau bilang bego aja. Mau out gk?
Gua : Beuh. Mau out sama orang bego?
Micky : Oh, lu orang bego. Okay. Bye.
Gua : Mau kemana emang?
Micky : Orang bego gak bakalan ngerti sih.
Gua : Kambing lu. Mau kemana!
Micky : Yaudah, keluar aja.
Gua melongo sebentar melihat chatnya Micky. Okay, dia udah nangkring di depan rumah gua. . . Tanpa perlu memastikan hal itu, gua bergegas mengganti baju tidur gua dengan t-shirt dan celana jeans biasa. Gua mengaplikasikan sedikit liptint di bibir gua untuk memberikan kesan bibir-tak-pucat. Mengambil tas kecil, dompet, hape dan beberapa alat penting lainnya, gua keluar rumah.
Benar saja, Micky sudah ada disana, menunggu di dalam mobil.
“Jadi, orang bego mau pergi ke mana?”
Gua memberikan muka ke Micky. Apa-apaan maksudnya? Cih.
“Mau makan mana?”
“Oh, orang bego emang biasanya cuman kenal makan doang ya—“
“BEGO LU!”
Gua menjotos pipi Micky dengan tenaga yang ternyata terlalu besar. Micky terpaksa harus mengerem tiba-tiba dan mengakibatkan mobil di belakang terkesima dan mengklakson kami. Syukurlah, pengemudi yang ada di belakang tidak turun mobil lalu menjotos balik pipi Micky yang satu lagi.
“WOE!” Micky berseru. Pipinya memerah.
“Lagian! Bego Bego mulu lu dari tadi! Gatal tau dengernya!” kata gua sembari mengelus tangan gua. Untung saja tidak begitu sakit.
“Beuhhh... Ternyata sekarang lu ciut banget, permen.”
“Maksud?”
“Dulu lu dikatain gendut, biasa-biasa aja tuh. Masa dikatain bego langsung ngejotos gua sih? Sakit tau!”
Gua menatap sinis Micky. Lalu tersenyum geli, “Sakitnya tuh dimana?”
Micky melihat gua dengan tatapan penuh arti, ia pun meletakkan tangannya di pipi, dan bernyanyi,
“Sakitnya tuh disini~ Di dalam pipiku~ Sakitnya tuh disini~ Kau jotos pipiku~ Sakitnya tuh disini~ Kau jotos pipiku~!”
“BUAHAHHHAHAHA! Bravo bravo. Saya bilang ‘yes’ untuk suara Anda.”
Kami berdua pun tertawa seperti orang yang baru keluar dari Mahoni. Dugem di dalam mobil sambil berbicara yang tidak-tidak.
Dalam beberapa saat itu, gua merasa senang dan hampir saja lupa bahwa Theo sedang di luar sana dengan Winnie. Namun kemudian, entah kenapa . . .
“Can ...?”
Gua bertemu Theo di restoran, duduk seberangan dengan Winnie. Orang-orang di sekeliling gua seolah mengatakan, gua adalah si buruk rupa dari goa, yang sedang menyampaikan salam pada si cantik dari dongeng.
ADA APA DENGAN SITUASI INI!
Gua melirik Micky, ingin membuat perhitungan yang super serius dengannya. Emosi gua tambah naik ketika gua tersadar bahwa Micky mengenakan kemeja rapi. Theo masih mengenakan pakaian kantornya, sementara Winnie mengenakan gaun yang menunjukkan lehernya yang terbuka, dipadu dengan kalung mengkilap dan hak tinggi. Dan gua... t-shirt dan celana jeans. AHAHAHAHAH ASEM!!
“Silahkan duduk.” Kata Winnie sembari menawarkan kursi yang tersedia. Begitu ia menyodorkan tangannya, wangi semerbak menyebar. . . Gua setengah merasa bahagia, setengah meringis, untung tadi gua gak BAB sehabis mandi. Sialan mereka semua!
Micky segera duduk di samping Theo, mereka dua bersalaman. Gua pun duduk di samping Winnie, tapi gua hanya mengumbar senyum padanya. Sekarang gua berharap tadi gua BAB, jadi secara tidak langsung kalau gua menjabat tangan Winnie... ... hehehehhehe
“Candy?” Pikiran joroknya terhapus saat Winnie memanggil nama gua, begitu manisnya.
“Ya? Ah... kamu cantik seperti biasanya Winnie.”
Gua yakin Winnie pasti merinding dibalik senyum responnya.
“... Oh... hahah Thanks, yang lebih cantik.”
BEUH! GELI BANGET.
Bahkan Theo dan Micky secara bersamaan melihat ke arah Winnie. ‘Problematika Wanita: Kamu lebih cantik lahhh~’
“...owh.. ehmmm. Yeahhhh thanks... Jadi, apa yang terjadi disini?” tanya gua.
Theo yang duduk di diagonal gua, mengangkat gelasnya, “Merayakan hari pertama Winnie.”
Hari pertama Winnie... Hmm... Hari pertama Winnie. Lalu apa hubungannya itu dengan gua...
“Hahaha...” Winnie tertawa malu. “Iyah, gua baru aja pindah ke perusahaannya Theo. So... Yeah... Untuk hari pertama gua!”
Winnie mengangkat gelasnya dengan suka cita, begitu juga dengan Theo. Lalu diikuti Micky, yang ternyata diam sedari tadi. Sementara gua, melongo melihat mereka bertiga. Dengan segenap rasa enggan, gua mengangkat gelas gua, yang sebetulnya tak berisi apa-apa karena gua baru saja sampai disana.
“Cheers...!”
“Cheers...!”
“Cheers...!”
“. . . cheers . . .”
Theo dan Winnie meneguk wine mereka sementara gua dan Micky menegak angin. Beuhh, kebahagiaan Winnie rasanya begitu hebatnya sehingga ia tidak menyadari bahwa gua dan Micky tidak meminum apa-apa. Melihat Winnie yang begitu senang, Micky mengernyitkan dahinya.
Gua menginjak kaki Micky dengan halus, menginisialkan, “Apa masalahmu?” padanya.
Namun Micky hanya balik memberikan senyum palsu ke gua.
Beuhhhh.
Sementara gua bertatap mata dengan Micky, gua merasakan sepasang mata mengamati. Gua pun menoleh dan mendapati Theo sedang melihat gua.
Beberapa saat kemudian, pelayan datang dan menghidangkan makanan. Mereka juga menuangkan wine setelah sekian lama. Gua melihat hidangan yang ada di meja, menelan ludah akan seberapa lezatnya makanan malam itu.
“Mari makan. It’s on me.” Seru Winnie.
Ia merupakan orang pertama yang makan, gua yang kedua, Theo yang ketiga, dan Micky yang terakhir.
Selagi kami makan, tak ada satupun yang berbicara.
“Omong-omong lu di bagian apa Winnie?” tanya gua, setelah menghabiskan makanan gua tanpa sisa.
“Di Creative team.” Jawab Winnie.
Owh, kreatif. Ah...Mungkin karena dia juga dulunya bekerja di dunia entertainment dan penuh kreasi. Itu artinya, dia dan Theo tidak akan sering bertemu kan... Memikirkan hal itu, sebagian jiwa gua merasa lega. Gua melihat ke arah Theo dan mendapati ia sedang tersenyum melihat gua. Aw...
“Tapi kenapa lu gak jadi penyiar lagi?” tanya gua.
Winnie melirik Micky lalu menyicip wine nya. “Karena Theo udah gak disana lagi. Hahhahha.”
Mendengar jawaban Winnie yang di luar dugaan, membuat wajah gua panas.
‘Karena Theo udah gak disana lagi’? Jadi maksudnya, dia akan selalu berada dimana Theo pun berada? Emang dia siapa, kutu rambut? Panas gua dengarnya. Gua pun melihat Winnie dengan pandangan tak percaya.
“Hahahha... yang bener saja. Gua Cuma bercanda, can.” Kata Winnie sembari mengedipkan mata ke Theo.
!!
Apa-apaan tuh!
“Hahahahahah” Winnie tertawa. Theo pun tertawa. Mereka berdua menertawai gua. Sialan.
“Mau kemana kita setelah ini, win?” tanya Theo.
“Well, gimana kalo kita ke club?”
Mata gua seketika melotot. Club? CLUB? Ah... boleh saja... Hehehehhe... Ketika gua cengengesan sendiri, giliran Theo yang melotot gua.
“Ayolah. Cuma malam ini doang. Ini kan hari pertama gua! Yaaaa?”
Suara Winnie yang begitu menggairahkan getaran jiwa membuat gua segera menjawab ya.
Dan kami pun pergi melesat.
Gua pergi bersama Theo. Dan Winnie pergi bersama Micky.
Ketika kami sudah ada di dalam mobil, Theo menginterogasi gua.
“Kenapa lu bisa datang?”
Gua menatap Theo tak percaya, “Hah? Jadi gua gak diundang?”
“Er... Gua pikir sih begitu.”
“Maksud lu, seharusnya cuman kalian berdua yang makan disana tadi dan cuman kalian berdua yang akan pergi ke club nanti?”
“Er...”
Jawaban Theo yang hanya ‘er’ membuat gua memanas.
Gua pun membalasnya dengan “Er...” juga.
Theo yang tahu gua mulai memanas, memasang muka yang tak dapat diartikan maknanya. Lalu ia pun tertawa terbahak-bahak. Oh.
“HAHAHHA Lu cute banget, can. Sumpah.”
“HAH?” Gua menatap Theo, kembali tak percaya.
Theo pun mengacak-ngacak rambut gua, “Lu di undang kok. Tapi gua baru tahu kalau Winnie yang nyuruh Micky jemput lu. Kalau gua tahu, pasti gua yang jemput lu. Ngapain si Micky coba...”
Dari kalimatnya yang terakhir, gua mendengar suara kecewa. Itu berhasil membuat gua cengar-cengir cengengesan. Lalu tertawa geli. Theo pun mengikuti gua. Kami berdua tertawa layaknya orang aneh.
//
BOOOOOOOM BOOOOOOOOOm BANG BANG BOOOOM BOOOM BANG BANG
TSSSCHHCHCH CHIKIKCHIKIKCHIK BZZZ BUM BUM
*suara bass kuat*
“UWAAA~!” Seru gua.
Begitu banyak orang disana.
Kami pun mengambil meja diantara beberapa meja kosong yang tersisa. Seorang pelayan menghampiri kami dan menanyakan apa yang ingin kami pesan. Tanpa perlu melihat menu apapun, Winnie langsung memesan sebotol bir. Gua melongo, hebat juga Winnie, ternyata dia anak main. Beuhhhh.
Di atas pentas, seorang MC sedang berkoar-koar. Ia memanggil-manggil seseorang, siapapun itu, untuk berdiri di atas panggung dan menunjukkan talenta mereka. Tak lama kemudian, seorang lelaki bule maju disambut sorak-sorai dari berbagai penjuru. MC pun mengundang lelaki itu. Lelaki bule bernama Ron itu tampak seperti raksasa di sebelah MC. Mereka berdua tertawa akan seberapa jauhnya ukuran tubuh mereka. Sang MC pun menghitung mundur dari 5. Musik mulai mengencang, mulai menge-bass, dan suara tepuk tangan mulai riuh.
Ron jalan ke tengah panggung, menyiapkan engsel-engsel tubuhnya. Di hitungan ke dua, ia melepas bajunya dan menerbangkannya ke entah arah mana. Gua heran, apakah orang yang menangkap bajunya tak mati karena wangi luar biasa dari baju itu. Beuhhh
Dan kemudian...
“SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT!”
Ron mengguncangkan seluruh badannya. Ia bergoyang, kesana kemari. Lemaknya berkecamuk dalam dagingnnya. Wajahnya tampak begitu menikmati guncangan yang ia sebabkan sendiri. Getaran tubuhnya semakin hebat mengikuti lajur cepat musik.
Melihat Ron membuat gua geli. Kami berempat bersorak-sorak. Setengah tak percaya, bahwa ada orang tambahan yang meminjamkan bahunya untuk menjadi tumpuan kaki Ron. Sehingga sekarang ia sudah menggetarkan tubuhnya layaknya RockStar. Ron the Rockstar.
“SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT!”
Minuman kami akhirnya datang. Gua baru saja ingin menegak untuk kedua kalinya ketika Theo menghentikan gua. Ia mengambil gelas gua dan meletakkannya di sebelah gelasnya.
“...”
Pipi gua mulai memanas lagi. Namun kali ini bukan karena tingkah laku Theo. Tapi karena bir itu yang mempengaruhi gua. Sementara itu, Winnie masih saja asyik meminum birnya sambil menyoraki kontestan lain yang berguncang di depan. Micky yang sedari tadi diam, sekarang mulai menikmati adegan di depan panggung dengan senyumnya. Sesekali ia akan melirik Winnie, dan beberapa kali sekali ia akan melihat gua dan Theo.
Dibawah pengaruh alkohol, kami berempat makin menyorak-nyoraki kontestan goncang itu. Kami juga mengobrol hal-hal yang sama sekali tidak penting. Entah kucing tetangga Micky yang hilang, teman Winnie yang jarang bertemu dengannya lagi, atau Theo yang dipanggil ke atap kantor oleh seorang pegawai cewek di kantor. Tunggu... apa?
“Hey... Kenapa cewek itu manggil lu?” tanya gua.
“Yah, gua kan terkenal di kantor. Dan lu tau itu.”
“Ah... Kenapa sih lu harus terkenal di kantor?”
“Kenapa gua gak boleh terkenal di kantor?”
“Karena ...”
Gua gak dapat menjawab pertanyaan Theo.
Musik mix makin menjadi-jadi. Sayangnya, bukan makin merasa have fun, gua malah makin merasa pusing. Melihat gua dan Winnie yang sudah mulai tepar, Micky mengambil inisiatif untuk mengajak kami pulang.
“Aihhhh... Padahal gua belum dance tadi di dalam!” seru Winnie.
Ops. Sepertinya efek alkohol mulai berpacu di dalam saraf tubuhnya.
Melihat keadaan Winnie yang agak mengkhawatirkan, gua menarik Micky ke sudut.
“Oi micky...!”
“Apa?”
“Lu kenapa diam aja daritadi?”
“Hah? Emang iya?”
“Bego lu. Keliatan banget tau!”
“Wew...”
“Pokoknya gua gak mau tahu. Lu harus anterin Winnie sampai rumah. Tanpa ada cacat sediktpun!”
Semenjak kapan yah gua bisa memperhatikan makhluk satu itu? Kalau alkohol membuat kita melakukan apa saja yang kita inginkan, gak lucu aja kan kalau di lubuk hati gua yang terdalam, gua menginginkan ia tetap selamat? Yah, bukan maksudnya kalau lebih baik dia diapa-apain aja sih.
Errr...
Micky ngeliat gua dengan pandangan yang sebetulnya patut gua tampar detik itu juga, tapi kata “Gua bakal cerita nanti.” membuat gua menahannya. Micky mengacak-acak rambut gua, memberikan secercah senyuman lalu melesat pergi bersama Winnie yang sudah tengger.
Ketika Winnie dan Micky sudah pergi, Theo menghampiri gua. Ia baru saja selesai membayar bill kami.
“Oi...”
“Oi...”
Kami menyahut satu sama lain.
“Jadi, Micky itu teman diet lu?” tanya Theo.
Ohhh.... Gua menceritakan bagaimana awal mulanya gua bertemu dengan Micky. Tapi... gua cerita apa apa aja ya? Entahlah.
“Iyap. Dia itu teman gila gua.”
“Teman gila...”
“Yap. Gua dekat banget sama dia.”
“Dekat banget...”
“Kenapa?” tanya gua.
Kami berdua berjalan berdampingan menuju basement. Di saat-saat itu, gua merasakan tangan kami berdua saling menyentuh. Sentuhan yang sedikit menyetrum itu mengirim sinyal panas ke semua tubuh gua.
Kemudian gua pun merasakannya. Ketika tangannya meraih tangan gua. Ketika hangat telapaknya menjalar ke telapak gua.
Oh. Shit. So cheesy.
But I love it anyway.
I giggled. When I giggled, Theo made a look to me. But then, he giggled too.
Kami pun sampai di dekat mobil Theo. Ia membawa gua ke pintu penumpang bagian depan. Gua berpikir ia akan membukan pintu itu untuk gua. Tapi ternyata dia hanya memegang gagang pintu itu, untuk waktu yang cukup lama. Gua pun melihat ke arahnya, sedikit heran. Apakah dia sudah kebanyakan minum bir sampai saraf tubuhnya berhenti? Atau mungkin ia sedang pusing? Atau apa?
Ketika gua berbalik untuk melihat Theo, jantung gua serasa berhenti. Ia sedang melihat gua, memperhatikan gua. Pandangannya begitu dalam, membuat gua seakan ingin hanyut ke dalamnya. Theo pun bergerak maju hingga kedekatan kami semakin rapat. Gua bisa mendengar suara jantung gua sendiri tanpa perlu memakai stedoskop. Gua juga merasakan sesuatu di perut gua, seakan baru saja menaiki roller coaster 180 derajat.
Theo pun semakin mendekat sampai gua bisa merasakan napasnya. Merasakan matanya yang tetap melihat mata gua, dan tangan kirinya yang memegang pinggang gua sementara tangan kanan menahan pintu mobil.
Detak jantung gua semakin tak karuan. Tapi gua tidak ingin lari dari keadaan itu, bahkan gua ingin detak yang semakin menggebu itu tetap selamanya seperti itu.
Wajah Theo semakin dekat, hingga hidung kami menyentuh.
Lalu...
Yang terjadi selanjutnya, membuat gua lupa. Gua lupa akan semuanya. Seolah sekeliling gua berwarna putih. Rasa hening namun heboh, rasa tenang namun menggebu, rasa nyaman namun bergejolak. It is foreign. It is alien. And I enjoy each mili seconds of it.
Then it goes deeper, hotter, sexier...
I wished time could stop around us. . .
It is as if a “Happily Ever After” celebration is clapping around us.
//END of chapter 13
“Hey... mau ikut kita?” tanya seorang yang kelihatan lebih senior dari mereka.
Wajah gua lumayan berbinar ketika akhirnya ada orang yang ingin mengajak gua jalan. Gua pun menganggukkan kepala dan kami akhirnya pergi. Dia mengajak gua ke salah satu tempat makan di pinggir jalan bersama enam orang lainnya.
Di meja makan, mereka berbicara mengenai betapa bagusnya dress yang baru dibeli, betapa wanginya parfum yang dihadiahkan, betapa manisnya pacar mereka masing-masing. Sang senior mencoba memasukkan gua ke setiap perbincangan mereka namun gua gak pernah merasa nyambung dengan apa yang mereka omongkan. Seolah-olah semua yang ada disana penuh warna dan gua duduk sendiri di ujung, abu-abu.
Ketika ingin membayar, sang senior dan yang lain hanya diam menatap gua.
“...Karena lu anak baru, lu yang bayarin makan kita hari ini ya!”
Gua berpikir tidak apa-apa asalkan mereka menganggap gua teman.
Gua berpikir tidak apa-apa asalkan gua bisa beradaptasi.
Gua pun mengeluarkan uang gua, membayar bill, dan pulang.
Namun, entah kenapa, setiap kali kami pergi makan bersama-sama, mereka selalu memberi seribu satu alasan untuk membuat gua membayar semua yang mereka makan. Semua itu terjadi sekali, dua kali, dan berkali-kali sampai akhirnya Dad sadar apa yang sedang terjadi. Itulah awal dari segalanya.
Dad merupakan ayah yang penyayang. Tapi ketika miliknya yang berharga berada dalam bahaya, ia akan melakukan segala cara untuk menjaganya. Termasuk membuat miliknya membencinya.
Ketika Dad tahu gua sering bergaul dengan cewek-cewek hedonis yang memanfaatkan uang orang lain, ia memanggil gua untuk berceramah. Mom hanya duduk di tepi mendengar, karena ia juga tahu bahwa gua salah memilih teman. Gua pikir semua akan baik-baik saja kalau gua berhenti membayar makanan mereka.
Tapi ternyata Dad tidak berhenti begitu saja. Ia bukan hanya menceramahi gua, tapi juga semua cewek-cewek yang memanfaatkan gua. Itu kenapa setelah insiden tersebut, gua selalu sendiri di sekolah. Gua merasa begitu menyedihkan, dan mengasihani diri sendiri sampai akhirnya gua mulai membenci Dad. ‘Andai saja Dad hanya menceramahi gua, andai saja Dad tidak ikut campur dalam urusan gua, andai saja Dad tidak perlu berbuat apa-apa maka ini semua tidak akan terjadi.’ Selama masa SMA sampai belakangan ini, gua selalu menyalahkan Dad atas segalanya.
‘Candy itu cewek yang tidak boleh didekati, kecuali kalau ingin berhadapan dengan ayahnya’ Itu adalah rumor mengenai gua saat SMA, yang baru gua ingat lagi ketika Theo mengungkitnya kembali semalam.
Setelah ia mengungkit rumor yang pernah bergerumul di masa lalu, gua merasa sebuah batu menimpa dada gua, berat. Gua pun mulai berpikir kembali, ‘Gua pikir Theo berbeda. Tapi ia sama saja dengan orang-orang lain yang melihat sesuatu dari luar saja. Ketika ia mendengar rumor itu, ia pun mundur.’
Kemudian gua merasa kesal dan batu itu serasa semakin membesar.
“Tahukah lu kenapa gua merasa sangat menyesal mengenai kejadian itu sampai sekarang?” tanya Theo.
Gua pun berhenti berjalan, begitu juga dengan dia.
Itu adalah pertanyaan yang membuat gua penasaran. Kenapa dia melakukan semua itu dan semua ini? Kenapa rasanya ia membuat hal menjadi begitu besar ketika seharusnya itu adalah hal-hal yang biasa-biasa saja? Atau mungkin gua yang terlalu sensitif juga turut andil dalam memperbesar masalah?
“You know, gua merasa pride gua terkelupas.”
“Hah?”
Theo memandangi muka gua, seakan meneliti seberapa banyak pori-pori yang gua miliki. Lalu ketika dia selesai menginvestigasi semuanya, ia pun mengajak gua,
“Mau minum bir?”
“Hah?”
Gua membelalakkan mata akibat ke-absurd-annya. Dari semua minuman yang ada dimuka bumi ini, kenapa tiba-tiba ia menawarkan bir? Entah kenapa gua terbayang wajah Juli yang tergila-gila pada bir Korea yang namanya Soju dan kemudian membayangkan adegan kami berdua mabuk berat dan kemudian kami berdua...
“Gak perlu imajinasi tinggi, can...” Theo membuyarkan lamunan gua.
“Ohh... gak gak ... siapa yang imajinasi??” Gua merasa begitu malu sampai ingin menabrak dinding sekarang juga. Entah kenapa rasanya seperti ketangkap basah menonton video biru. Shit. “... Yaudah, mau minum dimana?”
“Hahahahhaa...!!!” Theo menahan perutnya yang mungkin akan copot akibat tertawa begitu imut.
Ah... shit...
“Gua gak pernah nyangka lu seimut ini, can!” seru Theo sambil mengacak-acak rambut gua dengan kasar.
Gua hanya berdiam diri di situ. Diam-diam menikmati gerakan tangan Theo yang barusan. Melihat Theo yang tertawa sambil mengacak rambut gua, membuat gua merasa ingin melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu, merelakan dan memaafkan segalanya, lalu memulai lembar yang baru lagi.
Tanpa sadar (atau ‘ingin tanpa sadar’) gua menggapai tangan Theo yang sekarang tengah menunjuk-nunjuk muka gua.
Theo yang menyadari gua menggenggam tangannya, mulai berhenti tertawa.
“Okay...” kata gua.
Theo melihat gua dengan pandangan bertanya-tanya.
“Tentang ulang dari awal. . . Gua bilang itu okay.” Sambung gua lagi.
Semua yang telah terjadi punya alasan masing-masing.
Layaknya Juli yang mulai menerima Franco. Gua juga ingin mulai menerima Theo lagi.
Ketika gua mendengar Theo mengatakan harga dirinya terkelupas, gua akhirnya tersadar bahwa Dad pasti bertemu dengan Theo untuk membicarakan sesuatu hal secara rahasia. Tentang hal apapun itu, gua yakin Dad hanya ingin menjaga gua. Sementara Theo. . .
“Tapi sebelum itu, apa Dad gua merupakan satu-satunya alasan lu nolak gua?”
Theo melihat gua lagi, namun kini dengan seulas senyum kecil. “After I answered your questions, does that mean you’re mine from now on?”
“What?!”
“You’re pretty back then, so face are not the factor here.” Theo mulai berbicara sambil berjalan.
Gua yang masih di belakang belum mampu mencerna apa yang terjadi hanya bisa, “What?!”
“You’re not so smart. But stupidity is not the factor here.” Theo kembali berjalan beberapa langkah.
Gua masih, “What?!” sambil berjalan mengikuti Theo.
“Maybe it’s really your father?”
“What do you mean?”
Theo berhenti berjalan. Sayangnya, gua gak menyadari itu, dan gua pun menabrak punggung Theo.
Theo pun berbalik. “Is it me that want to run from the situation, or is it me that ...”
.
.
.
.
Pertama kali, gua pikir Theo sedang ingin menggombal. Tapi kemudian gua melihat alasan lain di matanya ketika kami melihat satu sama lain. Ia masih punya sesuatu yang belum dapat disampaikan ke gua, yang mungkin merupakan hal sensitif yang dapat membuatnya down. Melihat ia tampak seperti anak galau, I can’t help but spread my arms to hug him.
Gua pernah berimajinasi bagaimana rasanya memeluk Theo. Gua berpikir itu akan sama seperti memeluk bantal guling, mungkin terasa lembut. Namun ketika malam itu gua memeluk Theo, gua bukan hanya merasa kelembutan, tapi juga kehangatan. Gua merasa aman ketika mendekatkan diri dengannya. Terlebih ketika Theo turut memeluk gua, meletakkan tangannya di punggung gua.
I thought for this scene to happened long time ago... but never expected that I would be one that initiate it.
“Thankyou . . .” kata Theo.
‘Your welcome...’
Neither of us pull away, which makes the hug last longer, deeper, and hotter. We stand there and hug each other until I heard my own heart beating so fast. I tried to pull away because of the embarassment, but Theo pull me back so that we can sense our own fast-beating heart. It does sound dramatic, poetric, or honestly erotic, as it might be.
“Cieeeeeee...” tiba-tiba anak-anak berumur sekitar 6 tahunan mengelilingi kami sambil berseru cieeecieee.
Lalu seorang anak lain yang lebih tua berseru, “Kakak pacarannya jangan di tengah jalan atuh. Ntar kakak-kakak yang jomblo kecelakaan.” Itu berhasil membuat gua geli dan melepas pelukan erat gua.
Theo juga turut tertawa dan berkata balik, “Emang kalian tahu apa tentang pacaran?”
“Pacaran itu kan ketika cewek dan cowok peluk-pelukan, cium-ciuman, ... terus kalo udah serius, kakak baka—“
“Heh! Bumus, Marsus, Yupiterius,Saturnus, Uranus, Neptunus, Plutus!Kalian ngapain malam-malam gangguin orang...” seru seorang ibu-ibu, ia sedang mengenakan daster, menunggu anak-anaknya dari ambang pintu. “Ckckck kalian lagi! Berduaan tuh jangan di depan anak-anak! Candle light dinner kek, nonton kek, apa kek. Masa di jalanan? Gak punya uang yah?”
Perkataan ibu itu membuat gua, dan anak-anak lain terkejut. Burmus sampai Plutus berlari-lari masuk ke rumah ibunya sambil meneriakkan, “Cieeeee...!” Lalu ibu mereka pun menutup pintu dengan keras.
Gua melihat Theo yang ternyata berbalik ke belakang menahan tawa.
“Kenapa lu?”
“Emang kita miskin banget yah, pacaran di tengah jalan sampai-sampai mother of planetus muncul? Hahahah...”
“LOL...Siapa suruh kita jalan di tengah jalan?”
“Siapa coba yang peluk duluan?”
“Ya itu...” gua ya... Hmmm...
“Kalau gitu gua yang peluk duluan.”
Lalu Theo pun memeluk gua lagi.
//
“Whoahhhhh! Muka lu kenapa mengkilap banget Can? Serasa baru ... ngapaiiiin gitu.” Seru Franco.
Gua melihat Franco yang mempunyai pandangan mencurigakan yang tidak bisa gua ungkapkan dengan kata-kata. Wajah Franco yang ekspresif sungguh sebuah maha karya yang pernah gua temui. Tapi sayang, terkadang maha karya itu membuat gua setengah mau muntah.
“I see that you don’t use perfumes today...” I smirked.
Muka Franco menjelaskan seberapa malunya ia semalam. Memangnya siapa yang akan terpikat oleh parfum sebotol? Gua saja terkejut Juli masih dapat bertahan candle light dinner sama kodok.
“Anyway...” Franco mengganti topik. “Gua Cuma mau nanya gimana lu menghabiskan gaji pertama nanti...”
Gua pun melihat ke kalender dan mendapati angka 29 yang di lingkar. First pay-day.
“Menurut lu...?” tanya gua.
“Menurut gua, sebagai teman yang memberikan kamu peke—“
Pikiran Franco gagal diungkapkan ketika Theo keluar dari ruangan dan memotongnya, “Apa yang kalian obrolkan di depan ruangan gua?”
“Suprisingly, gua curiga dengan muka kalian berdua yang kinclong.” Kata Franco sambil melihat Theo dan gua secara bergantian.
“Otak lu udah kegeser gara-gara parfum semalam deh.”
“Lu ketemu Franco semalam?”
“Iya. Dia dengan kemejanya yang terbuka sebagian, rambut yang basah-basah-pomade, ditambah lagi dengan aroma memikat...” kata gua tersenyum sembari geleng-geleng kepala.
Theo menatap gua dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan, membuat gua merasa perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dibanding membuat lelucon seperti tadi.
“Er... Umm... Gua ke rumah Juli dan ternyata Franco lagi disana... Terus, Juli datang dan gua pulang.”
Franco kembali melihat gua dan Theo dengan bingung. “Whoahoah... Tunggu, sejak kapan Candy melapor hal-hal pribadinya? Hehehehehe...”
Gua memandang ke bawah, merasa malu sendiri.
Ketika gua mengintip ke arah Theo, gua menemukan ujung bibirnya yang tertarik.
Apa dia tersenyum? Atau apa?
“Okaydeh... Gua bakalan pergi tanpa perlu kalian yang suruh. Can! Ingat yang tadi gua bilang!”
“Asem lu.” Seru gua.
“Hari ini gak ada yang penting kan?” tanya Theo.
Hmm... Dia bisa menanyakan hal itu dari telepon, tapi dia berjalan keluar. Jangan bilang dia mau ngeliat gua? Hmm... Gua melihat ke agenda dari komputer, tidak menemukan apa-apa.
“Okay... gua mau pergi ketemu orang.” Theo berkata sendiri lalu masuk ke ruangannya.
Gua terdiam.
Theo pun keluar lagi mengenakan jasny dan tas kantornya.
“Mau pergi kemana?” tanya gua.
“Ketemu Winnie.”
Handphonenya berbunyi, ia mengangkatnya sambil berjalan ke lift. Meninggalkan gua.
It echoes through me.
Ketemu Winnie.
Kenapa harus ada nama wanita itu disini?!
Gua melihat ke arah Theo, berharap ia akan melihat gua kembali dan melambai. Tapi sayangnya itu gak terjadi. Gua ditinggal sendiri di kantor, dengan dipenuhi segala kemungkinan adegan yang terjadi antara Theo dan Winnie.
Damn Theo.
//
Gua melihat ke arah jam untuk sekian kalinya dan akhirnya ia berhenti di angka 12. Sudah jam 5 sore. Gua bergegas mengumpulkan semua perlengkapan gua. Ketika gua ingin mengeluarkan hape untuk menanyakan keberadaan Theo (yang mana turut membuat gua terkejut), seorang perempuan berdiri di depan meja gua. Gua pun berhenti berberes dan memberi hormat pada orang itu.
“Kamu Candy, sekretaris Theo?” tanya perempuan tersebut.
Gua mengangguk.
“Saya lihat kamu sudah bergegas pulang, apakah kamu ada masalah?”
Masalah dengan Theo, mungkin. Tapi gua menggeleng kepala. “Ah... tidak.”
“Kalau tidak, bisakah kamu ke ruangan saya sebentar?”
“Eh?” Gua melihat perempuan itu lagi. Mukanya terlihat begitu familiar. Setelah beberapa lama berpikir, gua akhirnya menemukan profilnya di otak gua. Hilda Winnata, divisi HR. Tapi kenapa?? Gua gak tau apa yang terjadi, namun gua yakin bahwa gua perlu menurutinya sekarang. “Okay.”
“Okay... Sudah siap beres? Silahkan bawa tasmu juga.”
“Okay, bu.”
Perempuan itu melihat gua sinis, barangkali karena gua memanggil dia dengan sebutan ‘bu’. Gua tidak tahu antara meminta maaf atau tidak karena panggilan bu adalah sebutan yang cukup formal. Apalagi dia memang seorang ibu dengan satu bayi. Bu Hilda meyakinkan semua barang gua telah dibawa lalu memandu gua ke ruangan Human Resource.
Disana, sejumlah meja ditata rapi. Semua memiliki pegawainya masing-masing yang sibuk bertelepon, atau mengacak-acak file.
Hilda berhenti di sebuah meja kosong di ujung ruangan. Ia pun duduk di kursi meja itu. Lalu ia membuka satu file dan membolak-balikkannya.
“Candy. Umur 21 tahun. Tamatan SMA. Sekretaris pak Theo. Why don’t I see the picture here?”
“Eh?” Otomatis, gua berdiri dengan sikap istirahat tangan di depan. Gua memandang ke bawah, merasa offended.
“Bagaimana... seorang tamatan SMA... bisa menjadi sekretaris? Saya dengar kamu sempat kuliah bisnis, tapi berhenti di tengah jalan.”
Mungkin otak gua tidak berjalan dengan baik hari ini, sampai gua bisa beraninya membalas, “Tidak semua tamatan SMA tidak berguna dan tidak semua tamatan kuliah berguna.”
Bu Hilda menginvestigasi gua dari ujung atas sampai bawah.
“Apapun itu, Theo tidak membutuhkan sekretaris lagi. Jadi, saya ingin memindahkan kamu ke divisi lain. Tim marketing sedang kekurangan orang, mau kah kamu di pindahtugaskan?”
Lagi-lagi gua dibuat tercengang oleh perkataanya.
“Ah... masih ada waktu seminggu sebelum payday kan? Kamu akan tetap menjadi sekretaris. Namun, bila kamu tidak ingin dipindahtugaskan, itu berarti kamu membatalkan kontrak kerja dan wajib membayar sejumlah kompensasi dan keluar dari kantor ini.”
Mendengar kata konpemsasi dan keluar, gua mengernyitkan dahi. Apalagi ketika pegawai-pegawai di sekeliling melirik ke arah gua, memikirkan sejumlah gosip baru.
Tanpa berpikir panjang, gua langsung menjawba, “... Kalau begitu, saya akan pindah ke tim marketing.”
Gua gak tahu kenapa Theo tidak memerlukan seorang sekretaris lagi, tapi gua gak mau menjadi pengangguran padahal baru bekerja selama beberapa bulan.
Mendengar jawaban gua, Hilda Winnata menelusuri setiap milimeter wajah gua kembali. Mungkin ia mempunyai mata superpower yang dapat mendeteksi setiap otot yang berkontraksi di wajah manusia. Namun, ketika dia tidak memberikan komentar apapun tentang jawaban gua, pikiran mata superpower itu menghilang, digantikan oleh perkataannya selanjutnya.
“Kalau begitu, silahkan isi form pemindahan berikut. Ruangan marketing ada di lantai 15. Minggu depan ketika kamu sudah pindah, ada senior yang akan mengajari kamu semuanya. The whole proccess is already set for you, so there wouldn’t be a problem. So you can go now. Send me back the form tomorrow.”
Dia secara tak kasat mata, mengusir gua keluar.
Gua pun mengambil form itu dan pergi, tidak mengacuhkan pandangan penuh tanya dari pegawai lain. Ketika gua hampir di penghujung pintu, gua mendengar Hilda Winnata.
“Yang benar-benar saja. Sampai hal sekecil itu pun harus gua yang urus. Ckckck...”
Gua mengernyitkan dahi sambil meninggalkan ruangan.
//
I need an explanation.
Desperately.
Pikiran gua terlalu terpenuhi oleh Theo, Winnie, dan pekerjaan gua. Masing-masing memiliki masalah tersendiri yang membuat kepala gua terlalu penuh untuk diisi.
Gua mengeluarkan handphone gua, berharap akan ada notifikasi keluar dari benda kecil itu yang dapat memberi gua penjelasan. Tapi ternyata gak ada. Gua pun terdiam. Sialan.
Menghabiskan waktu di kamar sendirian karena Cath sedang sibuk berkeliuran dengan temannya, gua pun membuka segala macam aplikasi yang gua punya di hape. Scrolling instagram, scrolling path, stalking orang. Gua melihat semua komentar-komentar yang sesungguhnya gak penting untuk dibaca.
Oh, sudah berapa banyak berita yang gua lewatkan?
Ketika gua lagi asyik nge-stalk akun temen-temen gua, sebuah notif muncul.
At last!
Gua segera mengeluarkan applikasi-potensial-untuk-nge-stalk, membuka notif dan membacanya. Ternyata Micky.
Woe, bonbon. Lagi ngapain?
Gua : Lagi nge-stalk
Micky: -__- Bego lu.
Gua : Asem. Apa hub bego sama nge-stalk? _-_
Micky: Gk ada. Cuma mau bilang bego aja. Mau out gk?
Gua : Beuh. Mau out sama orang bego?
Micky : Oh, lu orang bego. Okay. Bye.
Gua : Mau kemana emang?
Micky : Orang bego gak bakalan ngerti sih.
Gua : Kambing lu. Mau kemana!
Micky : Yaudah, keluar aja.
Gua melongo sebentar melihat chatnya Micky. Okay, dia udah nangkring di depan rumah gua. . . Tanpa perlu memastikan hal itu, gua bergegas mengganti baju tidur gua dengan t-shirt dan celana jeans biasa. Gua mengaplikasikan sedikit liptint di bibir gua untuk memberikan kesan bibir-tak-pucat. Mengambil tas kecil, dompet, hape dan beberapa alat penting lainnya, gua keluar rumah.
Benar saja, Micky sudah ada disana, menunggu di dalam mobil.
“Jadi, orang bego mau pergi ke mana?”
Gua memberikan muka ke Micky. Apa-apaan maksudnya? Cih.
“Mau makan mana?”
“Oh, orang bego emang biasanya cuman kenal makan doang ya—“
“BEGO LU!”
Gua menjotos pipi Micky dengan tenaga yang ternyata terlalu besar. Micky terpaksa harus mengerem tiba-tiba dan mengakibatkan mobil di belakang terkesima dan mengklakson kami. Syukurlah, pengemudi yang ada di belakang tidak turun mobil lalu menjotos balik pipi Micky yang satu lagi.
“WOE!” Micky berseru. Pipinya memerah.
“Lagian! Bego Bego mulu lu dari tadi! Gatal tau dengernya!” kata gua sembari mengelus tangan gua. Untung saja tidak begitu sakit.
“Beuhhh... Ternyata sekarang lu ciut banget, permen.”
“Maksud?”
“Dulu lu dikatain gendut, biasa-biasa aja tuh. Masa dikatain bego langsung ngejotos gua sih? Sakit tau!”
Gua menatap sinis Micky. Lalu tersenyum geli, “Sakitnya tuh dimana?”
Micky melihat gua dengan tatapan penuh arti, ia pun meletakkan tangannya di pipi, dan bernyanyi,
“Sakitnya tuh disini~ Di dalam pipiku~ Sakitnya tuh disini~ Kau jotos pipiku~ Sakitnya tuh disini~ Kau jotos pipiku~!”
“BUAHAHHHAHAHA! Bravo bravo. Saya bilang ‘yes’ untuk suara Anda.”
Kami berdua pun tertawa seperti orang yang baru keluar dari Mahoni. Dugem di dalam mobil sambil berbicara yang tidak-tidak.
Dalam beberapa saat itu, gua merasa senang dan hampir saja lupa bahwa Theo sedang di luar sana dengan Winnie. Namun kemudian, entah kenapa . . .
“Can ...?”
Gua bertemu Theo di restoran, duduk seberangan dengan Winnie. Orang-orang di sekeliling gua seolah mengatakan, gua adalah si buruk rupa dari goa, yang sedang menyampaikan salam pada si cantik dari dongeng.
ADA APA DENGAN SITUASI INI!
Gua melirik Micky, ingin membuat perhitungan yang super serius dengannya. Emosi gua tambah naik ketika gua tersadar bahwa Micky mengenakan kemeja rapi. Theo masih mengenakan pakaian kantornya, sementara Winnie mengenakan gaun yang menunjukkan lehernya yang terbuka, dipadu dengan kalung mengkilap dan hak tinggi. Dan gua... t-shirt dan celana jeans. AHAHAHAHAH ASEM!!
“Silahkan duduk.” Kata Winnie sembari menawarkan kursi yang tersedia. Begitu ia menyodorkan tangannya, wangi semerbak menyebar. . . Gua setengah merasa bahagia, setengah meringis, untung tadi gua gak BAB sehabis mandi. Sialan mereka semua!
Micky segera duduk di samping Theo, mereka dua bersalaman. Gua pun duduk di samping Winnie, tapi gua hanya mengumbar senyum padanya. Sekarang gua berharap tadi gua BAB, jadi secara tidak langsung kalau gua menjabat tangan Winnie... ... hehehehhehe
“Candy?” Pikiran joroknya terhapus saat Winnie memanggil nama gua, begitu manisnya.
“Ya? Ah... kamu cantik seperti biasanya Winnie.”
Gua yakin Winnie pasti merinding dibalik senyum responnya.
“... Oh... hahah Thanks, yang lebih cantik.”
BEUH! GELI BANGET.
Bahkan Theo dan Micky secara bersamaan melihat ke arah Winnie. ‘Problematika Wanita: Kamu lebih cantik lahhh~’
“...owh.. ehmmm. Yeahhhh thanks... Jadi, apa yang terjadi disini?” tanya gua.
Theo yang duduk di diagonal gua, mengangkat gelasnya, “Merayakan hari pertama Winnie.”
Hari pertama Winnie... Hmm... Hari pertama Winnie. Lalu apa hubungannya itu dengan gua...
“Hahaha...” Winnie tertawa malu. “Iyah, gua baru aja pindah ke perusahaannya Theo. So... Yeah... Untuk hari pertama gua!”
Winnie mengangkat gelasnya dengan suka cita, begitu juga dengan Theo. Lalu diikuti Micky, yang ternyata diam sedari tadi. Sementara gua, melongo melihat mereka bertiga. Dengan segenap rasa enggan, gua mengangkat gelas gua, yang sebetulnya tak berisi apa-apa karena gua baru saja sampai disana.
“Cheers...!”
“Cheers...!”
“Cheers...!”
“. . . cheers . . .”
Theo dan Winnie meneguk wine mereka sementara gua dan Micky menegak angin. Beuhh, kebahagiaan Winnie rasanya begitu hebatnya sehingga ia tidak menyadari bahwa gua dan Micky tidak meminum apa-apa. Melihat Winnie yang begitu senang, Micky mengernyitkan dahinya.
Gua menginjak kaki Micky dengan halus, menginisialkan, “Apa masalahmu?” padanya.
Namun Micky hanya balik memberikan senyum palsu ke gua.
Beuhhhh.
Sementara gua bertatap mata dengan Micky, gua merasakan sepasang mata mengamati. Gua pun menoleh dan mendapati Theo sedang melihat gua.
Beberapa saat kemudian, pelayan datang dan menghidangkan makanan. Mereka juga menuangkan wine setelah sekian lama. Gua melihat hidangan yang ada di meja, menelan ludah akan seberapa lezatnya makanan malam itu.
“Mari makan. It’s on me.” Seru Winnie.
Ia merupakan orang pertama yang makan, gua yang kedua, Theo yang ketiga, dan Micky yang terakhir.
Selagi kami makan, tak ada satupun yang berbicara.
“Omong-omong lu di bagian apa Winnie?” tanya gua, setelah menghabiskan makanan gua tanpa sisa.
“Di Creative team.” Jawab Winnie.
Owh, kreatif. Ah...Mungkin karena dia juga dulunya bekerja di dunia entertainment dan penuh kreasi. Itu artinya, dia dan Theo tidak akan sering bertemu kan... Memikirkan hal itu, sebagian jiwa gua merasa lega. Gua melihat ke arah Theo dan mendapati ia sedang tersenyum melihat gua. Aw...
“Tapi kenapa lu gak jadi penyiar lagi?” tanya gua.
Winnie melirik Micky lalu menyicip wine nya. “Karena Theo udah gak disana lagi. Hahhahha.”
Mendengar jawaban Winnie yang di luar dugaan, membuat wajah gua panas.
‘Karena Theo udah gak disana lagi’? Jadi maksudnya, dia akan selalu berada dimana Theo pun berada? Emang dia siapa, kutu rambut? Panas gua dengarnya. Gua pun melihat Winnie dengan pandangan tak percaya.
“Hahahha... yang bener saja. Gua Cuma bercanda, can.” Kata Winnie sembari mengedipkan mata ke Theo.
!!
Apa-apaan tuh!
“Hahahahahah” Winnie tertawa. Theo pun tertawa. Mereka berdua menertawai gua. Sialan.
“Mau kemana kita setelah ini, win?” tanya Theo.
“Well, gimana kalo kita ke club?”
Mata gua seketika melotot. Club? CLUB? Ah... boleh saja... Hehehehhe... Ketika gua cengengesan sendiri, giliran Theo yang melotot gua.
“Ayolah. Cuma malam ini doang. Ini kan hari pertama gua! Yaaaa?”
Suara Winnie yang begitu menggairahkan getaran jiwa membuat gua segera menjawab ya.
Dan kami pun pergi melesat.
Gua pergi bersama Theo. Dan Winnie pergi bersama Micky.
Ketika kami sudah ada di dalam mobil, Theo menginterogasi gua.
“Kenapa lu bisa datang?”
Gua menatap Theo tak percaya, “Hah? Jadi gua gak diundang?”
“Er... Gua pikir sih begitu.”
“Maksud lu, seharusnya cuman kalian berdua yang makan disana tadi dan cuman kalian berdua yang akan pergi ke club nanti?”
“Er...”
Jawaban Theo yang hanya ‘er’ membuat gua memanas.
Gua pun membalasnya dengan “Er...” juga.
Theo yang tahu gua mulai memanas, memasang muka yang tak dapat diartikan maknanya. Lalu ia pun tertawa terbahak-bahak. Oh.
“HAHAHHA Lu cute banget, can. Sumpah.”
“HAH?” Gua menatap Theo, kembali tak percaya.
Theo pun mengacak-ngacak rambut gua, “Lu di undang kok. Tapi gua baru tahu kalau Winnie yang nyuruh Micky jemput lu. Kalau gua tahu, pasti gua yang jemput lu. Ngapain si Micky coba...”
Dari kalimatnya yang terakhir, gua mendengar suara kecewa. Itu berhasil membuat gua cengar-cengir cengengesan. Lalu tertawa geli. Theo pun mengikuti gua. Kami berdua tertawa layaknya orang aneh.
//
BOOOOOOOM BOOOOOOOOOm BANG BANG BOOOOM BOOOM BANG BANG
TSSSCHHCHCH CHIKIKCHIKIKCHIK BZZZ BUM BUM
*suara bass kuat*
“UWAAA~!” Seru gua.
Begitu banyak orang disana.
Kami pun mengambil meja diantara beberapa meja kosong yang tersisa. Seorang pelayan menghampiri kami dan menanyakan apa yang ingin kami pesan. Tanpa perlu melihat menu apapun, Winnie langsung memesan sebotol bir. Gua melongo, hebat juga Winnie, ternyata dia anak main. Beuhhhh.
Di atas pentas, seorang MC sedang berkoar-koar. Ia memanggil-manggil seseorang, siapapun itu, untuk berdiri di atas panggung dan menunjukkan talenta mereka. Tak lama kemudian, seorang lelaki bule maju disambut sorak-sorai dari berbagai penjuru. MC pun mengundang lelaki itu. Lelaki bule bernama Ron itu tampak seperti raksasa di sebelah MC. Mereka berdua tertawa akan seberapa jauhnya ukuran tubuh mereka. Sang MC pun menghitung mundur dari 5. Musik mulai mengencang, mulai menge-bass, dan suara tepuk tangan mulai riuh.
Ron jalan ke tengah panggung, menyiapkan engsel-engsel tubuhnya. Di hitungan ke dua, ia melepas bajunya dan menerbangkannya ke entah arah mana. Gua heran, apakah orang yang menangkap bajunya tak mati karena wangi luar biasa dari baju itu. Beuhhh
Dan kemudian...
“SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT!”
Ron mengguncangkan seluruh badannya. Ia bergoyang, kesana kemari. Lemaknya berkecamuk dalam dagingnnya. Wajahnya tampak begitu menikmati guncangan yang ia sebabkan sendiri. Getaran tubuhnya semakin hebat mengikuti lajur cepat musik.
Melihat Ron membuat gua geli. Kami berempat bersorak-sorak. Setengah tak percaya, bahwa ada orang tambahan yang meminjamkan bahunya untuk menjadi tumpuan kaki Ron. Sehingga sekarang ia sudah menggetarkan tubuhnya layaknya RockStar. Ron the Rockstar.
“SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT SHAKE IT!”
Minuman kami akhirnya datang. Gua baru saja ingin menegak untuk kedua kalinya ketika Theo menghentikan gua. Ia mengambil gelas gua dan meletakkannya di sebelah gelasnya.
“...”
Pipi gua mulai memanas lagi. Namun kali ini bukan karena tingkah laku Theo. Tapi karena bir itu yang mempengaruhi gua. Sementara itu, Winnie masih saja asyik meminum birnya sambil menyoraki kontestan lain yang berguncang di depan. Micky yang sedari tadi diam, sekarang mulai menikmati adegan di depan panggung dengan senyumnya. Sesekali ia akan melirik Winnie, dan beberapa kali sekali ia akan melihat gua dan Theo.
Dibawah pengaruh alkohol, kami berempat makin menyorak-nyoraki kontestan goncang itu. Kami juga mengobrol hal-hal yang sama sekali tidak penting. Entah kucing tetangga Micky yang hilang, teman Winnie yang jarang bertemu dengannya lagi, atau Theo yang dipanggil ke atap kantor oleh seorang pegawai cewek di kantor. Tunggu... apa?
“Hey... Kenapa cewek itu manggil lu?” tanya gua.
“Yah, gua kan terkenal di kantor. Dan lu tau itu.”
“Ah... Kenapa sih lu harus terkenal di kantor?”
“Kenapa gua gak boleh terkenal di kantor?”
“Karena ...”
Gua gak dapat menjawab pertanyaan Theo.
Musik mix makin menjadi-jadi. Sayangnya, bukan makin merasa have fun, gua malah makin merasa pusing. Melihat gua dan Winnie yang sudah mulai tepar, Micky mengambil inisiatif untuk mengajak kami pulang.
“Aihhhh... Padahal gua belum dance tadi di dalam!” seru Winnie.
Ops. Sepertinya efek alkohol mulai berpacu di dalam saraf tubuhnya.
Melihat keadaan Winnie yang agak mengkhawatirkan, gua menarik Micky ke sudut.
“Oi micky...!”
“Apa?”
“Lu kenapa diam aja daritadi?”
“Hah? Emang iya?”
“Bego lu. Keliatan banget tau!”
“Wew...”
“Pokoknya gua gak mau tahu. Lu harus anterin Winnie sampai rumah. Tanpa ada cacat sediktpun!”
Semenjak kapan yah gua bisa memperhatikan makhluk satu itu? Kalau alkohol membuat kita melakukan apa saja yang kita inginkan, gak lucu aja kan kalau di lubuk hati gua yang terdalam, gua menginginkan ia tetap selamat? Yah, bukan maksudnya kalau lebih baik dia diapa-apain aja sih.
Errr...
Micky ngeliat gua dengan pandangan yang sebetulnya patut gua tampar detik itu juga, tapi kata “Gua bakal cerita nanti.” membuat gua menahannya. Micky mengacak-acak rambut gua, memberikan secercah senyuman lalu melesat pergi bersama Winnie yang sudah tengger.
Ketika Winnie dan Micky sudah pergi, Theo menghampiri gua. Ia baru saja selesai membayar bill kami.
“Oi...”
“Oi...”
Kami menyahut satu sama lain.
“Jadi, Micky itu teman diet lu?” tanya Theo.
Ohhh.... Gua menceritakan bagaimana awal mulanya gua bertemu dengan Micky. Tapi... gua cerita apa apa aja ya? Entahlah.
“Iyap. Dia itu teman gila gua.”
“Teman gila...”
“Yap. Gua dekat banget sama dia.”
“Dekat banget...”
“Kenapa?” tanya gua.
Kami berdua berjalan berdampingan menuju basement. Di saat-saat itu, gua merasakan tangan kami berdua saling menyentuh. Sentuhan yang sedikit menyetrum itu mengirim sinyal panas ke semua tubuh gua.
Kemudian gua pun merasakannya. Ketika tangannya meraih tangan gua. Ketika hangat telapaknya menjalar ke telapak gua.
Oh. Shit. So cheesy.
But I love it anyway.
I giggled. When I giggled, Theo made a look to me. But then, he giggled too.
Kami pun sampai di dekat mobil Theo. Ia membawa gua ke pintu penumpang bagian depan. Gua berpikir ia akan membukan pintu itu untuk gua. Tapi ternyata dia hanya memegang gagang pintu itu, untuk waktu yang cukup lama. Gua pun melihat ke arahnya, sedikit heran. Apakah dia sudah kebanyakan minum bir sampai saraf tubuhnya berhenti? Atau mungkin ia sedang pusing? Atau apa?
Ketika gua berbalik untuk melihat Theo, jantung gua serasa berhenti. Ia sedang melihat gua, memperhatikan gua. Pandangannya begitu dalam, membuat gua seakan ingin hanyut ke dalamnya. Theo pun bergerak maju hingga kedekatan kami semakin rapat. Gua bisa mendengar suara jantung gua sendiri tanpa perlu memakai stedoskop. Gua juga merasakan sesuatu di perut gua, seakan baru saja menaiki roller coaster 180 derajat.
Theo pun semakin mendekat sampai gua bisa merasakan napasnya. Merasakan matanya yang tetap melihat mata gua, dan tangan kirinya yang memegang pinggang gua sementara tangan kanan menahan pintu mobil.
Detak jantung gua semakin tak karuan. Tapi gua tidak ingin lari dari keadaan itu, bahkan gua ingin detak yang semakin menggebu itu tetap selamanya seperti itu.
Wajah Theo semakin dekat, hingga hidung kami menyentuh.
Lalu...
Yang terjadi selanjutnya, membuat gua lupa. Gua lupa akan semuanya. Seolah sekeliling gua berwarna putih. Rasa hening namun heboh, rasa tenang namun menggebu, rasa nyaman namun bergejolak. It is foreign. It is alien. And I enjoy each mili seconds of it.
Then it goes deeper, hotter, sexier...
I wished time could stop around us. . .
It is as if a “Happily Ever After” celebration is clapping around us.
//END of chapter 13
0 comments