My Differences
Sabtu, Februari 02, 2013
![]() |
made by AliceOlice. |
Teman-teman gua bergembira ria karena mereka akan segera mendapat angpao.
Terlebih lagi SO, yang duduk disebelah gua, dia bilang, "Aioo, bentar lagi imlek... hehehe nia angpao (kumpul angpao)"
Saat dia ngomong begitu, gua bakal cengar-cengir atau menjawab, "Iya" dengan nada datar.
It's not that I hate Chinese New Year. I loved it. Emphasized the word loved.
Gua dulu itu sangat menanti-nanti hari Imlek, nunggu orang-orang buat ngasih gua angpao. Gua bakal ke rumah keluarga Mom gua, dan kantor Dad gua. Pernah dulu sewaktu Grandma masih hidup, dia ngajak gua, bro dan sis gua keliling ke semua rumah temannya. Sehabis dapat angpao yang gak seberapa, kami akan berkunjung ke Kids' Station di Thamrin Plaza. Hahahha... ha ha ...
But I don't really anticipate it again until.... maybe two years ago?
Saat itu, keluarga gua berada dalam mess. Mom pergi dari rumah untuk beberapa bulan.
Biasanya saat Imlek, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah bos. Secara gitu ,yah, gua itu gak suka sosialisasi blah blah blah, jadi setiap kesana gua bakal duduk diam. Setiap kesana, Mom yang akan chatting dengan orang-orang disana. Jadi gua dan sis gua bisa terhindar dari keharusan berbicara di sana.
Tapi... Waktu Mom pergi, gua, sis dan bro gua tidak bisa lagi duduk diam disana. Kami tak punya sandaran untuk bersembunyi. Dad juga tidak menghiraukan kami. Dia hanya berbincang dengan kolega dan bosnya. Yang paling tidak menguntungkan adalah, bro gua punya koneksi yang oke dengan mereka. Orang-orang disana paling menyukai bro gua dari kami bertiga. Itu karena dia itu lebih friendly dan lucu (?), dan yang paling penting, dia bisa berbicara Hokkien.
Well, gua sebenarnya bisa. Tapi karena harga diri gua yang sesuatu itu, gua gak pernah mau berbicara bahasa Hokkien. It's not just me, sis gua juga tidak berbicara bahasa Hokkien. So, they all wanted us to talk with Hokkien which never be accomplished. Because of that different language, I felt secluded. Gua merasa aneh bicara sama mereka, dan gua rasa mereka juga sama.
Jadi selama dua tahun bai nian (seperti berkunjung ke rumah orang dan mengumpul angpao) disana, gua cuma duduk dan terkadang kalau ada orang yang ngajak gua bicara, gua cuma membalas singkat.
Kenapa gua gak ngomong Hokkien?
Kebanyakan orang yang gua temui di sekolah selalu menanyakan hal yang sama. Terkadang sebagian dari mereka malu bertanya, tapi ada juga yang berani bertanya.
"Kok kamu gak ngomong Hokkien? Ayah kamu pribumi yah? Atau ibu kamu?"
Well. . . Gua juga gak bisa salahin mereka kalo nanyain hal itu.
Karena kebetulan warna kulit gua gak seputih mulus orang Tionghua kebanyakan. Kulit gua cenderung coklat sawo matang. Mata gua juga gak sesipit orang Tionghua, melainkan lebih bulat. Walau bulat, tapi mata gua tetap gak punya kelopak. -_-
Ketika mereka bertanya begitu, gua bakal jawab, "Gak kok. Orang tua gua Tionghua."
"Jadi? Oh, kamu dulu tinggal di Jakarta yah?"
"Iya." Semenjak bertahun-tahun lalu.
Dengan satu "iya" itu, mereka kemudian mengerti. Seolah-olah hidup di Jakarta itu akan membuat seseorang tidak bisa berbicara Hokkien, dan itu hal yang wajar. Yah, memang sih, kebanyakan orang Tionghua di Jakarta lebih sering berbicara bahasa Indonesia daripada Hokkien. Bahkan kebiasaan itu turun temurun sampai ke anak mereka. Hanya sebagian dari mereka yang bisa berbicara Hokkien, or so what I thought.
Justru sebenarnya gua udah pindah ke Medan bertahun-tahun lalu, tepatnya sewaktu gua kelas satu SD. Seterusnya pun gua menetap di Medan. Bertahun-tahun lalu gua melewati hari gua berada di sekolah mayoritas Tionghua dan tinggal di rumah yang semuanya berbicara Hokkien.
Lalu... Kenapa gua gak juga ngomong Hokkien?
Dulu waktu tinggal di Jakarta, Mom dan Dad gua sibuk bekerja. Jadi mereka membiarkan pembantu menjaga kami semua. Kami melewati hari berada di dekat orang-orang yang berbicara bahasa Indonesia.
Dan oh, gua tekankan pada lu, jangan pernah sekali-kali menitipkan anak lu ke pembantu. Serius. Dua rius malah. Karena masa kecil gua sudah dinodai oleh mereka. Otak gua di isi oleh perbuatan yang tidak baik. Oh, tidak, bukannya mereka rape gua. Tidak. OH!MY GOD! Gak mungkin itu. FIUH. Pokoknya, jagalah anak lu sendiri. Back to the topic.
Sebagai seorang adik yang normal, gua selalu mengikuti gerak-gerik bro dan sis gua. Gua lebih sering mengikuti sis gua, karena dia satu kelamin dengan gua. ._. Karena kami sudah terbiasa berbicara Indonesia, maka saat berada di Medan kami juga berbicara Indonesia. Bro gua satu-satunya anak yang berbicara Hokkien sementara Sis gua berbicara Indonesia, dan gua pun mengikuti dia.
Saat gua pindah, gua melewati satu tahun bersekolah. Yang artinya, gua adalah anak yang tidak lulus TK B. -_- That's why I can't sing kid song. ._.
Kalau gua gak salah ingat, gua selalu berada di rumah. Gua gak berteman dengan orang lain selama satu tahun itu. Dan gua juga gak practice berbicara Hokkien.
And like that, one year passed. It's time for me to enter the elementary school.
Gua pun masuk ke sekolah. Gua berbicara bahasa Indonesia di sana karena dulu gua lebih mengerti bahasa Indonesia ketimbang Hokkien. Waktu gua kelas 1 SD, gua duduk dengan satu orang cewek. Gua belum terbiasa bersosialisasi saat itu. Itulah kenapa gua selalu di buli oleh cewek itu. Dia maksa gua memberinya uang. (Seingat gua, gua gak pernah ngelaksanin itu) Because of that, I was scared of her. Eh, after thinking a bit, that's maybe the beginning of my dislike to socializing. HAH! So, it was because of her!! -___-^
Then I grew up. Gua tinggal lebih lama lagi di Medan. Orang tua gua sekarang menjaga kami, yang artinya gua tumbuh dengan orang yang berbicara bahasa Hokkien. Tapi, gua tidak tumbuh berbicara bahasa Hokkien. Gua hanya tumbuh mengenal bahasa Hokkien lebih dalam. That's why I can speak but I don't. Orang tua gua juga memaksa gua untuk berbicara bahasa Hokkien, tapi saat itu gua belum bisa.
Dan gua kemudian tumbuh lagi. .__.
My sister was 'adopted' by my auntie. It's not like we were orphan. It's because my family can't afford our financial. My auntie who was richer decided to take care of her. And like that, my sister became a part of her family. She grew with different families. I grew with this families. But we are still the same. We don't talk Hokkien, we talk Indonesian.
As I grew up. I talked with Indonesian more.
Karena gua keseringan berbicara bahasa Indonesia, gua merasa malu untuk mengganti mother language gua. Karena gua berpikir kalau tiba-tiba gua datang ke sekolah dan gua berbicara bahasa yang berbeda dari semalam, orang-orang akan berpikir gua aneh. Gua gak mau terlihat aneh. Jadi gua tidak pernah lagi mengganti bahasa ibu gua. Gua tetap berbicara bahasa Hokkien.
But...
Ketika gua lebih dewasa, tekanan untuk berbicara bahasa Hokkien itu semakin terasa.
Saat gua bai nian di rumah bos ayah gua, mereka akan memaksa gua berbicara Hokkien. Karena kita itu orang Hokkien, masa' berbicara bahasa Indonesia. Mereka bahkan berkata bahwa lebih bagus lagi kalo gua belajar bahasa KongHu. -___-
Dan saat gua menyadari bahwa gua seharusnya berbicara Hokkien instead of Indonesian, gua sangat-sangat menyesal akan masa lalu gua. Gua seharusnya belajar bahasa Hokkien dari kecil. Gua malah membuang kesempatan berubah itu gara-gara gua gak mau dianggap aneh. Dan ketika gua harus berbicara Hokkien, nada-nada gua bakal terasa aneh dan malah lidah gua kebelit. Walau gua selalu mendengar Hokkien tapi gua gak pernah mempraktekkannya. Ketika Mom ngomong Hokkien, gua akan membalas dengan Indonesia. Jadi, gua gak pernah melatih mulut gua sejak kecil yang menyebabkan nada-nada gua sekarang parah bukan main. Mungkin ada sebagian yang benar, tapi sebagiannya lagi sumbang. -_-
After this realizing, I told to myself not to speak Hokkien again. I only speak it if it is important.
And. . .
I still speak Indonesia even after all this years grow up in a society that are majority speak Hokkien.
That is also why I don't frequently talk to people. Because I know that if I reply them with Indonesian, they will feel that I am different. And talking with different language is never going to be easy. We understand but . . . still it's weird. So, when they talk with me they have to speak Indonesian because I can't and never speak Hokkien with them.
Speaking with a different language from your mother tongue is not simple and sometimes hard.
Examples you are Korean. You have a foreign friend that just moved to your neighborhood. That friend is English. Of course they talk with English. And you can't talk them with Korean. So you have talk with English. Your tongue are not used to talk with English, although you must know it because English is the universal language. See...? It's not easy. But if you are used to English, maybe that's easy. But... you get my point, don't you?
---
0 comments