Return 1

Jumat, Februari 15, 2013

Prologue

Gua pernah baca satu kalimat dari satu karangan fiksi. “Love is like magic, but magic is an illusion”. Cinta itu seperti sihir, tapi sihir adalah ilusi. Dari semua karangan fiksi yang gua baca atau drama yang gua lihat, kebanyakan punya citra mereka sendiri. Sedih, lucu, imut, galau, happy ending, sad ending, et cetera. Kunci, kalung, foto, tempat favorit, cincin, et cetera. Banyak yang mereka lalui sebelum mereka mendapat apa yang Anang pernah nyanyiin, separuh jiwa mereka. Kalau gua menggabungkan quote tadi dengan apa yang gua bilang barusan, nawh, itu artinya cerita cinta di novel atau drama hanyalah ilusi. But, you never know until you get one, right? Lu gak bakal merasa sakit kalau lu gak jatuh, kan? Gak nyambung? WHATEVER. URGH!

Well, orang bilang tak kenal maka tak sayang so let me introduce you to my 20-year-old-self.

**

Candy. That’s my name. Jika lu rasa manis, thank you, tapi lu bakal kaget waktu ngeliat gua. Candy tidak pas dengan karakter gua. Tapi itu adalah cemilan makan malam yang paling gua sukai. Ada banyak rasa permen yang gua simpan dalam laci khusus gua. Bila orang lain menyimpan novel atau komiknya, itu gak bakal terjadi pada gua. Karena yang terpenting bagi gua saat ini adalah makan. Laci khusus gua berisi puluhan bungkus makanan ringan dan ratusan permen kecil. Hahaha…

Mom gua bilang warna mata gua seperti warna biru langit di hari terik. Gua cukup berbeda dengan orang normal lain di sekolah dulu gua. It’s because, Grandma gua adalah orang Amerika yang jatuh cinta dan menetap bersama Grandpa gua di Indonesia. DNA yang mengalir dari Grandma membuat warna mata kami berbeda. Dad bermata biru gelap, seperti saat langit hendak meneteskan air mata. Mom berasal dari orang Indonesia asli, matanya berwarna coklat hitam. Gua rasa gen Grandma lebih kuat dari orang tua gua sendiri, mata kami sama cerahnya.

Di sekolah gua yang dulu, gua cuman punya dua teman. Pada mulanya, gua kira mereka baik, tapi lambat laun mereka menghindari gua. Belakangan gua baru sadar, ayah gua yang oh-sangat-baik tidak menyukai gagasan anak pertamanya bergaul dengan orang. Entah apa alasannya, yang jelas gua gak mau tahu. Gua udah cukup muak dengan sikapnya yang posesif or whatever-it-called ke gua. Orang tua gua cukup kaya, gua rasa itulah sebabnya ayah gua takut gua terluka oleh orang lain. Walau pada akhirnya, merekalah yang melukai gua, secara mental. Untunglah, gua punya adik perempuan yang bisa diajak curhat.

Catherine, adik gua yang lebih kecil dua tahun dari gua, berbeda dari gua, secara fisik. Dia langsing, sementara gua … selebar barel. Saat kecil, kami itu sama-sama unyu (kata Grandma). Tapi semakin gua tumbuh besar, gua semakin banyak makan. Which caused me to get thiiis fat. Satu hal yang membuat kami mirip adalah warna mata. Gua gak pernah bayangin kalau gen Grandma masih tersisa buat dia.

Like I said, gen Grandma gua terasa begitu kental di keluarga gua. Padahal dia satu-satunya orang luar negeri di pohon generasi dimulai dari Grandma gua sendiri. Dari semua orang di dunia akhirat, dialah satu-satunya orang yang gua suka dan gua hormati. Yap, dia udah… meninggalkan kami untuk pergi mengunjungi dunia selain dunia ini. Grandma itu baiik banget. Dia selalu jadi tempat curhat gua, yang kini sudah beralih ke Catherine. Grandma selalu menggantikan tugas asli Mom sampai gua berumur 10 tahun. Setelah Grandma pergi, Mom berhenti bekerja dan focus ke tugas aslinya, menjaga dan membesarkan gua dan Catherine. Sampai saat ini gua masih dan akan terus mengingat Grandma. Grandma, I am a good girl, am not I? Hehe…

Oh, what I’m missing? Ah, my parents. Gua… orang tua gua… Bayangin aja bapak-bapak yang suka bekerja dan menomor satukan pekerjaan daripada keluarganya. Bayangin juga bapak-bapak yang bersikap over protective dengan keluarganya. Bayangin juga bapak-bapak yang ganteng dengan mata biru. Udah dapat imagenya? Nah, itulah Dad gua. Gua gak bohong waktu gua bilang Dad ganteng, toh, itulah kenapa Mom mau nikah sama Dad dan menghasilkan gua dan Catherine.

Mom gua… ‘mewariskan’ tugasnya ke Grandma sebagai Mom selama sepuluh tahun sebelum dia kembali lagi. Kembali membina keluarga setelah sepuluh tahun berlalu bukan tugas yang mudah. Tanpa ada bimbingan Grandma, Mom memang depresi. Tapi dia tidak menunjukkannya, well, overall dia itu wanita yang tegas dan kuat. Itulah kenapa dia masih terus dijaga di perusahannya sampai … dia undur diri.
Oke… that’s all for my intro. You?

Oh, wait, I don’t need yours. Ini cerita gua toh. Tapi kalau lu mau ceritain diri lu ke gua, hubungi nol satu dua tiga bintang pagar dan listen. Saat terdengar suara, “Terimakasih, cobalah beberapa saat lagi” barulah lu boleh memberikan kisah lu ke gua. Okay? Deal.

*** 


Chapter 1

Jam dinding berbentuk kentang di kamar gua mengarah ke angka delapan. Oh… beri gua lima menit lagi. Lima menit lagi, okay?





Caaandyyyyy! Bangun, udah jam sepuluh!!!”

UGH! Bukannya gua bilang lima menit lagi?? Sekarang baru jam… oh… sepuluh. GREAT. Ini hari kesekian dari ketujuh hari di muka bumi. Dan, yaap, gua gak terlambat untuk masuk sekolah atau kerja. Itu karena, satu) gua udah lulus sekolah, dua) gua belum kuliah karena gua belum tahu mau mengambil jurusan di bidang apa, tiga) karena gua belum kuliah gua belum bisa cari kerja, jadi gua gak ada kerjaan.

“CANDY!”

“OKAY! CANDY SUDAH BANGUN. TUNGGULAH BEBERAPA SAAT LAGI. BEEP BEEP BEEP.”

CUT THAT OUT. YOU’RE FREAKIN' TWENTY, ANDY.”

YEAH, CUT THAT OUT TOO. I AM A FREAKIN' GIRL. OHMYGOSH, AAAARRGGHH--”

Gua jatuh, dengan posisi telentang dan bibir mencium lantai. GREAT.

Gua bangkit dari kejatuhan dan bergegas menuju kamar mandi yang ada didalam kamar gua. Gua melakukan ritual seperti biasa: gosok gigi, cuci muka, make a cake plus soda, and shower. Setelah siap dengan ritual dan memakai baju, gua keluar dari kamar gua dan turun ke ruang makan.

Wangi mentega terasa begitu harum memenuhi dapur yang bersampingan dengan ruang makan. Mom sedang memasak telur mata sapi. Ada roti, selai, dan susu yang tertata rapi di meja makan. Melihatnya saja membuat perut gua bergejolak. Tanpa basa-basi, gua langsung duduk manis menunggu kedatangan telur hangat.

“Lu sudah putuskan tentang kuliah?” Mom selesai memasak telur dan membawanya ke meja makan. Kemudian ia duduk berhadapan dengan gua.

“Belum Mom. Kan udah gua bilang gua gak mau kuliah.” Kata gua sambil mengoleskan selai strawberry ke roti. Mom menatap gua sejenak, seakan ingin memulai sebuah pidato tanpa terimakasih-sampai-jumpa. Untunglah, Mom meredam suaranya dan lanjut makan.

Selesai makan, gua kembali lagi ke kamar, takut dihujani pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Mari gua beri satu quiz. Pertanyaannya : Apa yang biasanya dilakukan cewek di waktu senggang? Shopping? Yeah, seratus buat si Author. XD Gua berencana untuk membeli baju dan jalan-jalan ke luar. Walau gua suka makan, bukan berarti gua buta Fashion kan? Okay, gua memang agak out-of-date, tapi gua masih normal. Saatnya refreshing sebelum Mom … you know lah. Gua memanggil supir pribadi keluarga gua, Pak Kumis. Nama aslinya bukan pak kumis tapi karena dia berkumis jadi gua panggil dia pak kumis. Haha.

“Pak Kumis, antarin aku ke mall ya. Biasa.”

“Oke, permen.”

Seperti halnya gua memanggil dia pak kumis, dia memanggil gua permen. Karena… bahasa Indonesia dari Candy adalah permen. Kedekatan selama delapan belas tahun gua bersama dia –sebagai majikan dan supir- membuat kita bersikap seperti teman lama. Jadi, gua gak masalah dipanggil permen dan dia juga gak masalah dipanggil pak kumis. Keren kan? Haha...

***

Siang begiiitu teriknya. Keringat mengucur di kening penjual es krim kerucut dipinggir jalan. Untunglah, ada tempat akan disamping si penjual es krim, sehingga gua bisa menikmati es krim sambil menyantap nasi padang tanpa terik menyapa kulit putih gua.

Pak kumis sudah pergi setelah menurunkan gua disini, beberapa blok di samping mall. Siang itu sangat panas membuat gua tergoda mendapati adanya kehadiran eskrim disekitar sana. Setelah selesai dengan makanan gua, gua berjalan ke Mall.

Another quiz for you. Pertanyaannya : Apa yang lu rasakan sewaktu lu masuk ke sebuah pusat perbelanjaan dan semua mata tertuju pada lu? Mereka ngefans sama lu? Oh, itu bakal sangat gua dampakan berPULUH tahun yang lalu. Tapi si kenyataan bilang tidak. It feels like, ketika lu jalan-jalan di mall dan tiba-tiba lu melihat seekor gajah masuk ke dalam. ITU yang gua rasakan sekarang ini. DAMN. Dimana “semua orang derajatnya itu sama” atau “gua percaya lu apa adanya” atau whatever?? Just because someone is fat, that doesn’t make he/she is weird. Yeah, gua emang agak aneh, tapi… ARGH. It doesn’t feel good, I tell you.

But, yeah... I am freakin’ twenty. Gua udah mengalami hal ini untuk kesekian kalinya dan masih terintimidasi kesekian kalinya. Jadi, yah, gua bersikap santai, cool. Chin up. Bayangkan kalau mereka memandangi lu karena lu begitu cantik dan memesona dan indah dan everything. Yeah, seperti itu. So, you would not feel hurt, again.

Toko pertama yang gua kunjungi adalah toko kecantikan wajah. Satu-satunya kekurangan dalam fisik gua hanyalah berat badan. Gua sering merawat kulit gua yang putih alami itu. Tak heran rasanya kalau kasir di toko itu mengenal gua dengan baik. Vana beauty store merupakan toko pertama yang baik ke gua. Staff disana tak lagi geli melihat satu barel masuk ke toko mereka. Malah, mereka menyambut barel itu dengan ramah.

“Hi! Lu masih montok juga yah.” Julianna yang berada di balik kasir menyapa gua.

Gua berjalan dan berdiri di samping kasir. Layaknya bertemu teman lama, gua langsung curhat. Selain Catherine, Julianna juga merupakan tempat curhat gua. “Gua gak mau kuliah, you know?”

Juli menggelengkan kepala. “You know betapa susahnya gua mau kuliah?”

Gua beranjak pindah ke bagian cream wajah. “Wah! Yang ini lucu!”

Dari ujung mata gua, gua bisa melihat Juli tersenyum. Dia tahu kalau gua mengalihkan pembicaraan.

Juli merupakan cewek mandiri yang keren, cantik, dan…langsing. Toko ini merupakan miliknya, bisa dibilang sebagai ‘hadiah’ dari orangtuanya. Dia menyukai fashion dan kecantikan, makanya dia sedang mengumpulkan uang untuk kuliah di Singapore. Dengar-dengar, tahun depan dia akan segera mendaftar. Juli sudah mengetahui apa yang ia inginkan, hanya saja ia belum memiliki kesempatan. “Can, gua lagi bikin proposal diet. Kalau lu mau coba, lu tau mau hubungin siapa.”

“O! Jangan harap. Being fat is my world.

“O! With that body of yours, gua ragu berapa DEKADE lagi lu bakal nikah.”

Gua tersenyum. Perkataannya itu menusuk, a little bit. Untung daging dan lemak gua tebal, jadi rasa tusukannya terasa seperti cubitan. Ha ha ha .___.

Gua mengambil beberapa lembar masker dan meletakkannya ke meja kasir. Kemudian gua mengucapkan selamat tinggal dan pergi. Patung piguran mengisi etalase toko di lantai dua mall itu. Kebanyakan toko baju berjejer di lantai ini untuk memudahkan pelanggan mencuci mata dan membersihkan dompet. Dua buah jaket warna hitam dan pink berpose dengan patungnya menarik perhatian gua: Couple Jacket. Jaket itu sangat imut, dan gua berniat untuk membelinya.

“Mba, ada ukuran apa aja?”

“Maaf mba, gak ada ukuran yang pas untuk mba.”

What the --? “Ada ukuran apa aja?” Gua bertanya balik, menambah sedikit rasa tegas didalamnya.

Mba pegawai bernama Sinta tampak terkejut tapi ia segera menjawab, “Ada S,M, dan L.”

“Saya mau yang M ya.”

“…Okay…” Dia mengambil jaket ukuran M dari laci dan kemudian gua mengikutinya ke kasir. Setelah membayar dengan uang yang pas sepas pasnya gua keluar.

BAD DAY! BAD mood! BAD *ss. Lu pikir gua gak bisa memakainya? Oh, yeah, memang… But! Gua juga bisa pakai kalau gua mau. Gua juga bakal cocok kalau gua pakai jaket itu. Lebih baik lu, Sinta, gak resign dari pekerjaan lu. Lu udah menyayat jantung gua yang sudah tebal. Gua gak suka banget sama lu. Yah, bukannya gua suka sama lu dari awal. Tapi, lu—

*BRUK*

Oh. My. God. BAD—

Sinar kerlap-kerlip lampu menyinari rambut keemasan orang itu. Matanya yang coklat cerah terlihat setelah kacamatanya jatuh. Bayangnya serentak memaku gua. Mata kami saling bertemu. Tatapannya begitu sesuatu dan gua berenang-renang di dalamnya. Keringatnya mengucur jatuh ke tangan gua dan … gua sadar dan terbangun dari goosebump-moment.

Lu baik-baik aja?” tanya cowok itu.

“Iya. Sorry. Lu baik- baik juga kan?”

Barang-barang bertebaran. Jantung gua berdetak kencang. Gua membatu disana tanpa membantu sedikitpun. Ya, Ampun. Puh-leaasee, mental slap to myself.

Mata gua gak lepas memandangnya sampai akhirnya dia memakai kacamata-bulat-besar-warna-putih-pucat. Gua merasa setruman kecil yang membuat gua merasa pangeran tadi berubah menjadi sosok orang lain.

I am sorry. Bye.”

He is smiling. Oh, my gosh. Lihatlah giginya yang berderet rapi berkilau. Oh, bahkan lampu di mall pun mencemerlangkan giginya. Oh, and looks at those dimples! Senyumannya melelehkan gua. Seakan-akan lemak gua terbakar dan gua menjadi langsing. Dan gua berpikir untuk memakan ice cream lagi buat ngebalikin gua jadi normal. Gua bisa merasakan seberapa spaghetti-nya kaki gua. Dia pergi. Oh…

Gua baru mau berjalan ketika kaki gua tertahan sebuah tas. Tas? AH… jaket yang tadi gua beli. EH? Gua rasa gua beli jaket warna hitam deh. Kenapa sekarang jadi putih? Ckckck... Gua mengeluarkan benda putih itu dari dalam tas belanja. T-shirt. Yang ada di dalam tas itu adalah T-shirt. Gua melongo kembali ke isi tas itu. Kartu nama. GREAT.

Seperti halnya adegan yang ada di komik, novel, atau mungkin sinetron. Orang bertabrakan, barang jatuh, barang diambil, dan barang tertukar. Dan gua mengalami kesemua adegan itu. Ha ha ha. Gua mengeluarkan kartu nama itu dan membacanya.

THEO. 0812abcdefg. Hari diterima: Rabu. Hari diambil: Jumat. Terimakasih sudah mempercayai kami, kritik saran dan blarh. NICE LAUNDRY.

Otak gua mulai berputar setelah sekian lama digunakan. Jadi, peluang cowok yang tadi gua tabrak bernama Theo adalah setengah. Peluang baju itu merupakan miliknya adalah satu. Peluang dia terburu-buru mengambil bajunya adalah satu. Peluang gua akan bertemu kembali dengannya adalah satu. NICE. Betapa hebatnya otak gua walau hiatus selama hampir dua tahun.

Jadi, here’s the plan. Gua bakal menelepon nomor itu, menanyakan apakah tadi ia bertabrakan dengan seseorang. Jika orang itu menjawab ya, maka gua akan menjelaskan bahwa tas kami tertukar dan bagaimana kami akan bertemu. Jika orang itu menjawab tidak, maka matikan teleponnya. Bagus, ide yang bagus.

Gua mengeluarkan Samsung dari saku jeans gua.

*tuut tuut tuut*

“Hello?”

“…Hello? Ehm… saya… ahh… kamu tadi nabrak orang di suatu tempat?”

“… ya? Oh! Ya!”

I KNEW IT! “Ehm.. kamu salah ambil tas… kita terbalik.”

“Oh ya?”

*srek srek srek*
Gua bisa mendengar gesekan barang di ujung telepon.

“OH! … ARGGGHHHHH… I am so sorry… AISH.”

-_- Plan selanjutnya. “Kita bisa bertemu…”

“Benarkah?? Oh, baguslah. Thank you. Tolong antarkan tas itu sekarang juga. Gak usah khawatir, jalanlah beberapa blok di luar Mall dan lu bisa ngeliat gedung bernama KIS FM. Masuk aja ke gedung itu, dan naik ke lantai tiga. Masuklah ke pintu kedua di sebelah kiri dan gua bakal ada disana. Okey? Good. Thank you.”

*Tutt tuut tuut*

Maksud gua … bukan seperti ini…

Gua rasa gua bilang, ‘kita bisa bertemu’, tapi Theo mengartikannya menjadi, ‘gua bisa membantu’. Oh dear. Bukankah cowok biasanya akan membantu si cewek? Kenapa sekarang gua menjadi cewek yang membantu si cowok? Hello?? Dimana pride gua? Author! Author!!


//



NEXT CHAPTER

  • Share:

You Might Also Like

0 comments