CHAPTER 6
Theo meletakkan dua gelas kopi hangat di meja. Ia duduk setelah gua menerima kopi itu dengan ragu-ragu.
Kami tidak berbicara sedari tadi. Mungkin kami terlalu larut dalam pikiran masing-masing. “Candy” yang masih tidak bisa menoleransi sikap ayahnya, dan Theo yang harus menahan diri untuk tetap bersikap biasa.
“Kamu…”
“Terima—“
Mereka berdua berbicara pada saat yang bersamaan.
Theo mempersilahkan gua untuk berbicara terlebih dahulu. Hah, ladies first, gituh?
“Makasih, kopinya.” Kata gua sembari menyeruput kopi hangat.
Biasanya gua tak pernah minum kopi, tapi segan rasanya menolak apa yang diberikan orang lain pada gua.
Sejujurnya, sejak dari tadi gua terus memikirkan pertemuannya yang sangat kebetulan dengan Theo. Padahal gua tidak terlalu percaya dengan apa yang namanya takdir.
Kejadian yang sekarang ini membuat gua terus berpikir apakah pertemuan gua dengan Theo selama ini adalah hanya kebetulan atau memang takdir. Tapi, “Candy” lebih memilih kemungkinan pertama. Gua merasa salah kalau memang dipertemukan secara takdir dengan cowok itu.
“Kamu gak usah acting kok.” Theo kembali melanjutkan kalimatnya tadi.
Akting? . . .
Ah…Tentu saja.
Bahkan gua sudah mengira-ngira bahwa Theo juga sedang acting semenjak kami berdua bertemu kembali. Kalau Theo sendiri rasanya sudah cukup dengan acting-aktingan ini, maka tak salah bagi gua untuk bersikap seperti yang seharusnya.
Gua tidak ingin merasa sakit seperti ketika dua tahun lalu.
Mengapa diri gua masih merasa sedih ketika ia melihat Theo lagi di kantor Radio waktu itu? Mengapa diri gua masih merasa cemburu terhadap Winnie di tempat makan pinggir jalan waktu itu? Mengapa diri gua masih seperti dirinya dua tahun lalu ketika gua bertemu cowok itu?
**
Walaupun dua tahun lalu gua hanya bertemu dengan Theo tidak lebih dari empat kali, gua sudah menyukai cowok tinggi itu. Bahkan sejak pertama kali bertemu, “Candy” sudah merasakan sengatan tidak biasa yang tidak pernah ia rasakan ketika bertemu dengan cowok lain. Ketika itu, gua hanya merasa bahwa Theo adalah orang yang berbeda dari yang lainnya. Walau saat itu gua hanya melihat Theo tanpa sepengetahuan cowok itu, sebagian dari diri gua merasa tertarik.
Kedua kalinya kami bertemu, “Candy” merasa bahwa Theo orang yang menyenangkan. Kami bertemu berkat adanya kucing yang selalu berkeliaran di lingkungan sekolah. Saat itu, Theo-lah yang pertama kali menghampiri diri gua dan mengajak gua berbicara. Adegan itu menjadi satu-satunya adegan dimana kami berdua benar-benar berbicara.
“Candy” makin merasa bahwa Theo adalah orang yang baik hati saat pertemuan ketiga mereka. Entah kenapa, gua selalu berhasil melihat Theo dari luar, jauh. Saat perjalanan pulang gua ke rumah, gua mendapati Theo sedang berjongkok di pinggir jalan. Gua sempat merasa geli pada cowok tersebut, tetapi setelah diamati lebih lama, rupanya cowok itu sedang bermain dengan anjing terlantar yang ditaruh dalam kotak. Gua sempat melihat cowok itu mengambil salah satu anak anjing sebelum mobil yang diduduki gua pergi menjauh.
Sejauh perjalanan hidup membawanya berkelana, “Candy” tidak pernah merasa sekritis itu saat pertemuannya dengan Theo yang ke empat kalinya. Tepat pada hari Valentine saat itu, gua merasa ingin meniru apa yang dilakukan oleh tokoh utama dalam komik kesukaan gua, gua berencana ingin menembak Theo. Walau gua selalu di jauhi oleh teman sekolah–bahkan hampir tidak punya teman sekelas, gua tetap bersikeras ingin melakukan hal tersebut. Tapi jauh di dalam lubuk hati, gua tak pernah tahu bahwa ada hal yang lebih menyakitkan dari sekedar dikucilkan.
Saat “Candy” benar-benar menyatakan perasaannya, bahkan dengan ucapan yang terbata-bata, cowok tersebut malah bersikap 180 derajat dari biasanya.
Semula keadaan kebun di belakang sekolah sunyi seketika setelah gua berhasil mengutarakan isi hati. Theo yang mungkin sedang berpikir tadi menjawab utaran tersebut.
“Pernahkah lu berpikir bahwa di sekolah ini tidak ada yang mau mendekatimu?”
Pertanyaan yang rasanya sangat bertolak belakang dengan topic yang sedang kami bicarakan membuat gua terdiam seribu bahasa.
Theo kembali melanjutkan kata-katanya.“Apa karena gua satu-satunya orang yang baik ke lu, jadi lu suka gua? Hahaha…”
Otot rahang Theo kembali mengeras.
“Don’t think highly of yourself, you’re nothing but an idiot.”
Bahkan walau dirinya sudah terlatih untuk tidak menangis ketika dijauhi, “Candy” tidak bisa menahan air mata yang seketika menyengat itu. Bahkan ketika gua sudah terbiasa dijauhi, gua tidak pernah merasa terhina, kotor, atau serendah hari itu. Gua merasa harga diri gua di sayat-sayat dan dibuang di tengah lautan. Seolah gua tidak bisa lagi bersatu dengan sempurna. Gua merasa kata-kata yang dikeluarkan oleh cowok itu sangat tidak masuk akal, irasional. Gua tidak bisa mengerti mengapa cowok itu bisa berubah sedingin ini padahal mereka pernah berbicara dengan kasual. Di sela-sela air mata yang rasanya tidak bisa berhenti dan tanda tanya besar terukir dalam otaknya, Candy bertanya tergagap-gagap.
“kenapa?”
Kenapa lu berpikir demikian? Kenapa lu gak bisa berkata lebih halus dari itu? Kenapa gua harus dijauhi bahkan oleh lu juga?
“’Why’ you ask? If I was about to tell you, will you be able to think my decision logically?”
Itu merupakan kalimat terakhir yang disampaikan Theo dua tahun yang lalu. Setelah siap dengan omongannya, Theo pergi meninggalkan “Candy”. Shock dengan situasi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, gua terkulai lemas ke tanah. Gua pulang dengan mata bengkak. Gua tidak pernah merasa sekacau itu sebelumnya. Oleh karena itu, sebagai pelampiasan dan pengalihan emosi, “Candy” memakan perasaan tersebut hingga beberapa hari lalu ketika Juli dan Mom-nya menyuruhnya untuk diet.
**
Kalau Theo menyuruh gua untuk berhenti berakting, berarti dia menyuruh gua untuk “mengenalnya” sebagai Theo dua tahun lalu yang telah menolak perasaan gua mentah-mentah bukan?
“Winnie pacar kamu? Atau kalian selama ini memang pacaran?”
“Selama ini? Ah enggak kok.”
“Lu ikut acara radio itu dari tiga tahun lalu, kan? Lu gak suka sama dia? Menurut gua, dia suka sama lu loh. Atau lu udah nolak dia? Gak baik gantungin perasaan orang.”
OHMY, apa yang salah sama diri gua?? Kenapa gua bisa-bisanya mengatakan hal paling ngawur sejagad saat ini? Padahal gua… tidak, tidak. Bukan gua yang salah kan? Gua hanya menunjukkan seperti apa gua setelah ia tinggalkan? Tunggu, tunggu. Bukan sifat ini yang ingin gua tunjukkan. OHMYFREAKINFAT. Parah. -_-
Sementara pikiran liar gua melayang-layang, Theo mengerutkan dahinya seolah sedang berusaha menerima rentetan ucapan yang gua katakan. Ketika ia akhirnya menerima kata-kata itu seutuhnya, Theo kembali mengerutkan dahinya.
“Maksud lu?”
Gua terdiam seribu bahasa. Gua tidak mungkin lagi menarik perkataannya tadi, itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri. Ketika gua masih bingung ingin menjawab apa, tiba-tiba ada orang yang memanggil Theo dari kejauhan.
Kami berdua menoleh dan mendapati seorang cewek berbaju rumah sakit menghampiri kami. Cewek tersebut tidak lain tidak bukannya adalah cewek yang baru saja mereka bicarakan, Winnie.
Tampaknya Winnie tidak melihat adanya keberadaan gua dari belakang. -_- Ia sedikit terkejut melihat gua, mungkin karena kami berada di rumah sakit yang sama.
“Hey. Kita ketemu lagi.” Sapa Winnie sambil berjalan dengan kikuk.
Gua terlonjak melihat Winnie yang berjalan dengan bantuan tongkat alumunium –apalah namanya itu. Gua hanya balas tersenyum.
Haha… Winnie masuk rumah sakit, dan Theo menjenguknya…
Merasa sebongkah gallon aqua akan mengganggu keberadaan dua insan ini, gua segera beranjak dari tempatnya. Usaha gua segera terundur saat benda di kantung baju gua bergetar hebat. Franco menelepon.
“Haloo…” jawab gua sambil melirik kedua orang di depan.
Ha… lihatlah bagaimana Theo menaruh perhatiannya pada kaki Winnie.
“Halo. Aqua! Lu dimana? Kita semua udah nyariin lu daritadi!”
“Gua … lagi di lobby.” Gua kembali melirik kedua orang itu. Sekarang Theo tertawa akibat sesuatu yang dikatakan Winnie.
“Tunggu disitu! Gua kesana sekarang. Tut tut tut tut…”
Gua menutup ponsel dan meletakkannya kembali ke saku baju.
Ingin sekali gua pergi menjauh dari pemeran sinetron didepan gua itu, tapi bagaimana lagi, Franco menyuruh gua untuk menunggu. Apalagi tidak ada lagi tempat kosong di lobby tersebut. Apaan-apaan ini? Kenapa banyak orang yang sakit hari ini? “Waktu gua keluar nanti, kita pergi ke Dufan yuk!” sahut Winnie. Jelas sekali bahwa mereka memperlakukan gua tak lebih dari sekedar butiran debu.
“Terserah deh. Lu mau makan apa? Gua beliin.”
“Gak deh. Mumpung di sini, gua mau diet aja.”
“Eaya. Lagipula lu juga udah gendut banget tuh.”
HAHAHA!
Mata gua yang salah atau perasaan gua yang salah? Winnie yang estimasi beratnya tidak melebihi limapuluh kilogram itu dikatakan gendut oleh Theo. Jadi gua yang estimasi beratnya melebihi delapanpuluh kilogram dikatakan apa oleh Theo? Kingkong? Gajah? Beruang? GALON?! CIH.
Merasa mereka sudah menyinggung orang di depannya, Winnie melirik kearah gua dan memukul lengan Theo dengan lembut. Apa-apaan ini? Entah kenapa gua merasa sekotor upil pengemis jalanan. PARAH.
“OI. Galooo~n!”
-_-^
Sekarang gua merasa sejijik ingus pengemis jalanan.
Dari semua kata yang ada di dunia ini, kenapa Franco harus memanggil gua dengan sebutan gallon? Dan dari semua waktu yang ada di hidup gua, kenapa Franco harus memanggil gua saat itu juga? Dan dari semua ekspresi yang bisa dipakainya, kenapa Franco harus memasang muka terkejut seperti itu?
“EY. Lama banget gak ketemu lu, bro!” seru Franco.
-0-^
Tahu-tahu Theo sudah bangkit dari kursinya dan menyambut pukulan persahabatan dari Franco.
“Sama, bro! Ngapain lu disini?” tanya Theo.
Gua yang sebenarnya masih tidak percaya dengan hubungan mereka berdua segera menundukkan kepala. Sudah pasti mereka semua bakal tertawa terpingkal mendengar Franco sedang mencari galon yang berada tepat di sebelahnya itu. -_-
“Lu kenal sama Candy juga?” tanya Franco ragu-ragu. Lalu entah kenapa ia merasa satu bohlam berwarna kuning muncul di sebelah kepalanya. “OH! JANGAN-JANGAN----“
Theo segera mengunci mulut Franco dengan rapat dan membawanya pergi ke dunia lain. Mereka meninggalkan gua dan Winnie berdua di lobby tersebut.
“Aku dengar ayah kamu pemimpin perusahaan LEE Group yah?” tanya Winnie.
Entah ada angin apa Winnie bertanya demikian. Gua mau tak mau harus menjawab pertanyaan tersebut. Gua sudah terbiasa ditanyakan hal seperti ini. Orang-orang berlagak seperti mengenali gua. Atau mungkin ayahnya yang protektif itu membuat pengumuman dengan foto wajah gua dan menuliskan : ‘Ini adalah anak perempuan dari pemimpin perusahaan LEE Group”
“Aku pikir jadi orang kaya enak juga. Tapi ternyata kalau terlalu posesif, bahaya yah.”
Gua tahu gua tidak terlalu pintar, tapi biasanya gua selalu nyambung ketika diajak berbicara. Obrolan gua dengan Winnie sekarang ini menjadi sejarah baru dimana gua tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Winnie. Atau mungkin Winnie adalah orang yang suka berbicara tidak jelas?
Untung saja, para lelaki sudah kembali ke posisi semula. Kalau tidak, bisa-bisa gua merasa terpojok bersama orang ‘high-class’ di depan gua itu. Entah apa yang dibincangkan oleh kedua cowok itu tadi sehingga keduanya memasang wajah datar, tidak seheboh kelakuan mereka tadi. Gua dan Franco menyampaikan salam perpisahan dan pergi ke kamar rumah sakit Candy.
**
Kamar tersebut sudah kosong. Tidak ada jejak kehidupan sama sekali. Bahkan ruangan tersebut terasa lebih dingin dari keadaannya sebelumnya. Mungkin karena sebelumnya suasana begitu tegang dan panas.
Memikirkan kejadian sebelumnya, gua kembali merasa sedih. Sejauh ini, Dad tidak pernah secara terang-terangan menyuruh gua untuk menjauh dari orang lain. Dad pasti merasa anak bernama Juli tersebut sudah membahayakan nyawa anaknya sehingga ia melarang kedu¬¬¬a gadis itu untuk berdekatan. Pasti Juli menangis karena mendapat perlakuan berlebihan dari Dad. Gua jadi merasa bersalah banget sama Juli.
“Mana Juli?”
“Gua mau ngomong sesuatu sama lu. Bener Theo itu orang yang lu suka dulu?”
“. . . kenapa. . .?”
Franco menggaruk-garuk kepalanya.
Benar juga, gua gak pernah nyangka kalau Franco bisa mengenal Theo. Sejak kapan mereka kenal? Kenapa gua gak tahu? Fiuuh… Gua dan Franco sama-sama diam.
Tiba-tiba Juli masuk ke kamar, kepalanya tertunduk. Ketika ia mendongakkan kepalanya, matanya terlihat bengkak. Gua mendekati Juli dan secara reflex memeluknya erat.
“I’m so sorry…I’m so sorry…”
. . .
. . . . .
“AIGOOOO!!!!!!!!!!!!!!!!!” Seru Juli, membuat gua kaget seketika. Kami akhirnya berhenti berpelukan ala teletubies. Juli menghirup napas sedalam-dalamnya, dan kemudian mengeluarkannya sekuat tenaga. “AIGOOOOO!!!”
=0=^
Juli pun tersenyum lebar, “Gak papa kok, Can. Lu juga bakal melewati jalanan yang berliku dan berlubang saat mengendarai. Kejadian ini hanyalah gua anggap sebagai cobaan realita. Gua gak bakalan bisa bangkit kalau gua down berat sama persoalaan seperti ini. :)”
Ini yang gua suka dari Juli. Dia selalu bisa bersikap ceria, bahkan setelah diburukkan oleh Dad. Gua memang harus belajar banyak dari dia.
Oleh karena itu, gua sudah memutuskan bahwa memang sudah waktunya buat gua untuk berubah. Hidup dalam “kegendutan” seperti ini bukanlah hidup yang gua inginkan. Gua memang terlahir menjadi orang berbadan slim. #ceileh. Makanya, gua sudah memutuskan tadi di sela-sela kesunyian saat gua dan Theo duduk bersama. Gua, Candy, akan mencoba untuk mandiri.
“Cola-can! Jadi gini, gua sudah merencanakan sesuatu yang sepertinya bakal bagus buat lu. Ehmm… Rencananya Franco bakal----“
“Hahahhaha… Lu yakin, Jul? Sorry yah, Can. Juli itu rencanainnya tanpa persetujuan gua. . . Gua mau bilang sesuatu dulu sama lu Jul!”
“HMPPPHHH----“
Franco menyeret Juli keluar dari kamar gua.
Hahhaha… Jangan-jangan Juli memikirkan rencana aneh lainnya. Hahahha… Tak apa Juli. Gua bakal bisa melewati semua sendiri sekarang. Lu hanya perlu memberikan gua support.
Gua…akan menjaga diri gua sendiri. Gua sendiri yang akan melanjutkan program diet ini. Gua gak akan membuat siapapun terluka gara-gara keprotektifan Dad lagi. Gua akan menjauh dari mereka semua…
*sreeeeetttt*
Juli pun masuk…
Franco berada di belakangnya…
Muka mereka berdua kusut.
Mungkin Franco menolak habis-habisan ide gila Juli…
“Guys… gua udah mutusin buat menyendiri selama beberapa bulan…”
“…”
“…”
“APA?!”
Juli dan Franco saling menatap.
Gua sudah membulatkan rencana gua. . .
Bye for now, friends…
NEXT CHAPTER
>> Author Note: Makin ngaco...? h3h3h3h3h3h3 (jadi suka banget pakai kata itu deh). Update selanjutnya diusahakan minggu depan. Kalau kalian buka lewat website, sila scroll ke bawah ada bagian NEW POST. Gua akan mengupdate entry-entry terbaru disana. Maksudnya linknya saja. Heheh... Untuk yang pakai handphone, mungkin sudah ada di layar terdepan. H3h3h3h3h3. <<