CHAPTER 3
Do you know what heartbreak means?
To me, heartbreak means one thing: You have fallen in love. I don’t want to know anything else, just that thing. But, like previous quote, You have fallen in love in illusion. You have heartbreak in illusion.
I want to believe that, and I tried my best. Heartbreak is just an illusion. It’s just a dream. But as long as I kept believing, I locked in my dream. A long, long dream. It’s not nightmare nor it’s happy dream. It’s between them. I locked between nightmare and happy dream. And I am still locked.
//
“Candy!!” Mom berteriak sambil menggedor pintu dengan kuat. “Wake up! It's already nine!"
Gua melempar selimut ke samping dan melihat bekas air di bantal Pooh gua. Ugh.
“Yes Mom. Candy udah bangun.”
Gua berdiri dari tempat tidur, dan duduk di meja rias. Gua mengikat rambut hitam gua dengan bentuk ekor kuda. Dengan segera, gua membuka pintu kamar untuk mendapati Mom melihat gua dengan tatapan cemas.
“Oh, Candy? What’s happen? Kamu diare??” Diare? Seriously? “Lu langsung pergi ke kamar dan gak keluar lagi. Lu bahkan belum makan, sweety!”
Gua mengerutkan dahi, mencoba mencari alasan yang tepat. Selain diare, puh-leeease. Kalau Mom pikir gua diare, dia bakal memasak bubur tanpa rasa dan mencekoki gua dengan pil-pil warna-warni. Gua terlalu sehat untuk mencicipi bubur tanpa rasa Mom. Eww…
“. . . Diet?” Ha ha ha. What a GREAT lies I said. Semoga Mom percaya. But, wait!! Kalau gua bilang diet, itu berarti . . . Mom gak akan memasak makanan yang enak. Itu artinya, Mom hanya akan memasak makanan low-calorie, and stuff like that. Gua gak bakal bisa merasakan pedasnya rendang. HOLY PIE.
“WOW! You. . .” Mom terkejut. Dia mengangkat kedua tangannya seakan ingin memeluk gua. Tapi tangannya terhenti di udara. “. . .perfect! I means, kamu akhirnya mau bangkit. I am proud of you, sweety. Kamu sudah melakukan hal yang tepat. Mom akan mendukungmu. Kamu bisa… aku bisa menyuruh ayahmu untuk membeli treadmill dan lain-lain. Semakin cepat lebih baiiki!” Senyuman Mom memenuhi separuh mukanya.
Dan sebelum gua sempat mengedit kata-kata gua, Mom sudah pergi.
Gua terperosok, berdiam diri lagi di kamar. Gua gak mungkin bisa melakukannya. Gua harus memikirkan seribu satu rencana untuk membatalkan rencana diet gua.
…
……
Untuk sementara, mungkin gua bisa melakukannya berhubung selera makan gua berkurang drastis. Tapi itu hanya untuk sementara, mungkin cuma untuk beberapa jam or so. And after that, … Gua masih harus memikirkan seribu dua cara untuk menghentikan Mom dari rencana gila ini. ._.
**
It turns out that Mom SANGAT antusias dengan kebohongan gua. Baru saja pagi ini gua membicarakannya dan sebuah treadmill hitam lengkap dengan audionya sudah tiba di depan pintu. Mom menyuruh petugas untuk meletakkannya di ruang belajar. Tapi gua bersikeras untuk meletakkannya di kamar gua. Itu karena… Mom gak akan tahu kalau gua memakainya atau tidak. Dan gua gak akan memakainya. Untungnya Mom menyetujui dengan tanggapan bahwa gua akan lebih sering memakainya kalau berada di tempat yang dekat. -_-
Antusias Mom belum berakhir sampai disitu. Biasanya saat makan siang, meja makan akan penuh dengan makanan. Tapi sekarang, hanya ada sayur, sup jagung, dan segenggam nasi.
Gua menatap Mom tak percaya.
“Candy, Mom tahu ini bakal sangat berat bagi kamu. Tapi ini semua juga untuk kebaikan kamu. Mom ingin kamu berubah. Kamu cantik, Candy, but you hide it behind those fat.” Kata Mom sambil menunjuk perut gua. -_- “Sekarang, Mom bakal ekstra ketat mengontrol kamu. Fighting!”
Untuk mendukung gua di proyek diet ini, Mom menceritakan kisah cintanya ke gua.
Sewaktu Mom bernostalgia dengan menyalakan lagu Kokoronotomo, gua mengintip album foto mereka untuk pertama kalinya. Seharusnya ada foto tentang kencan jadulnya mereka walaupun Cuma satu. Gua meraih album tua berwarna putih kekuningan, sampulnya masih terjaga rapi.
Before you changed, sebuah tulisan tangan yang gua rasa ditulis Dad masih terlihat jelas di halaman pertama. Album itu kira-kira berisi 15 lembar. Di setiap halaman ada sekitar dua sampai tiga foto yang tertempel dengan setiap penjelasan singkat di bawah masing-masing foto. Mulai dari foto pertama kali mereka makan bersama, bermain di taman, bermalam di Sibayak, menikmati air terjun sipiso-piso, ke kebun binatang, sampai foto-foto aneh dan kocak mereka. Disana, Mom memang terlihat gendut, sementara Dad terlihat ganteng dan gagah. Gua terpaku melihat foto terakhir di album itu.
Dad dan Mom berfoto bersama burung di sebuah taman safari. Hanya dengan melihatnya saja, gua bisa merasakan seberapa besar kasih sayang Dad pada Mom. Mereka berdua duduk bersampingan, Dad di sebelah kiri dan Mom di sebelah kanan. Burung itu bertengger di lengan Mom. Tangan Dad tergantung diudara. Jarinya berdarah akibat patokan si burung. Mereka berdua tampak bahagia.
**
“Candy?? Huh! Melamun pula lu disini! Ada apa lu cari gua?” tanya Juli sambil melambaikan tangannya ke arah wajah gua. “Kalau gak salah, barusan dua hari yang lalu lu kesini. Apa maskernya udah habis?”
“Bukan…” jawab gua tanpa memalingkan wajah. “Ada masalah yang datang lagi. Tentang… lu tahu…menurunkan berat badan.”
Juli terbelalak seperti tak percaya dengan kalimat gua barusan. “LU?! Ciyus?”
“Ya gak lah. Masa gua serius. Waktu itu gua cuma cari alasan ke Mom. Dan gua bilang, gua diet. Dan Mom tiba-tiba bahagia banget. Semuanya…berubah.”
“Hmm… Looks like gua ketinggalan berita. Lu cari alasan buat apa? Hah? Hah?”
Gua akhirnya menceritakan kisah semalam. Mulai dari malam dimana gua mengunci diri hingga Mom yang memasak lauk super sederhana itu. Juli mendengarnya dengan terpotong-potong karena ini hari Minggu. Banyak orang yang datang berbelanja. Vana Beauty Store dipadati pengunjung, sampai-sampai Juli kewalahan. Sementara gua membantu memasukkan barang-barang belanjaan pelanggan ke kantong plastik sambil curhat.
“Lu harus menceritakannya dari awal Candy. Baru gua bisa mengerti. .. Oh- Yang ini lagi diskon dek. Bagus loh buat kuku kamu.”
“Yah, tapi tidak disini. Lu sibuk banget, gilak.”
“YEAH. Money flow, bro. But I am curious with your story. Besok! Besok gua bakal kerumah lu. Tunggu dirumah baik-baik. Jangan pergi kemana-mana! … Yang ini aja, dek. Oke, semuanya seratus tiga puluh dua ribu ya…”
“… kalau lu sempat.” Kata gua sambil mengambil tas dan pergi.
**
Daun-daun pohon boddhi berguguran dan melayang diudara. Suara percikan air mancur mengisi kekosongan pikiran gua. Gua sedang berada di taman Naoise yang berada di dekat Mall. Taman itu tak pernah berubah walau dimakan waktu. Gua kembali teringat akan masa-masa dulu gua yang suram. Hah…
Sebuah tempat teduh di bawah pohon beringin yang gua rasa sudah berusia hampir lima puluh tahun or so whatever menjadi kenangan tersendiri dari dalam lubuk hati gua. Kenangan pahit yang gak ingin gua ingat lagi. Tapi akhirnya, gua pun kembali kesini, di tempat yang sama dalam waktu yang berbeda. Gua duduk sambil menikmati angin sepoi-sepoi di bulan Januari. Menangkap sehelai daun Boddhi yang bertebrangan, gua sesekali melihat ke jalan raya dan mengamati orang-orang yang berjalan-jalan. Pegawai yang menunggu bus, pasangan nenek-kakek yang berjalan, anak-anak yang berlari-lari, dan pasangan muda yang menarik perhatian orang lain karena penampilannya.
Dari jauh gua melihat pasangan itu. Mereka memang serasi, tapi mereka tidak bergandengan tangan layaknya pasangan biasanya. Yang cewek berambut coklat panjang sampai dibahu, cewek itu cantik sekali. Yang cowok tinggi seperti model. Mukanya –
“TH--!!” Teriakan gua hampir keluar. Rupanya pasangan yang cukup menghebohkan itu adalah orang yang gua kenal. Number one dan number two. Gua sedikit ketakutan, takut kalau mereka menemukan gua dan bertanya tentang hal yang terjadi dua hari yang lalu. Gua gelisah, saking gugupnya gua mengumpulkan daun Boddhi yang berterbangan untuk menutup muka gua.
An eternity later…
Mereka berjalan melewati gua. Mereka gak menyadari keberadaan gua. Syukurlah… Gua pun menurunkan dedaunan yang menutupi wajah gua. Dan –
“AAAARGGGHHH!!”
Gua melihat dua sosok wajah dengan mata yang membesar dan tatapan ingin tahu yang besar. Dalam tiga detik itu, sosok itu terus menatap gua. Gua menutup mata gua hingga akhirnya kedua sosok itu berbicara dengan lembut.
“Are you… alright?” Gua membuka mata kanan gua. “Lu sedikit… aneh.” Gua membuka mata gua yang lain dan melihat dengan kedua bola mata gua sendiri, Theo dan Number two saling bertatapan.
“Oh! Um… Ya! Gua ..baik! Yeah!Umm… Hi!” Puh-leaaseeee, mental slap to myself.
Theo mengangkat alisnya, sementara number two mengerutkan dahinya. Dan kemudian ekspresi mereka berubah menjadi normal. Saat gua mengangkat bahu, number two mengulurkan tangannya.
“Winnie. Nice to meet you…”
Gua melihat tangannya yang dihiasi aksesori cincin berbentuk kumis dan jam tangan NEXT. Kulitnya yang milky-white membuat gua seakan-akan ingin mengelusnya.
*patt patt patt*
Gua pun mengelus tangannya. #EH. Maksud gua, menjabat tangannya…
“Kamu gak apa-apa?” tanya Winnie.
Sebelum gua sempat menjawab pertanyaannya, perut gua menggantikan tugas mulut gua.
*ggrrrrwwwllll*
GREAAAAAT!!!!! Double mental slap to myself, pleaseee.
*grrrrwwwlllll*
NIIIIIICEEEEEE!!! TRIPLE KILL TO MYSELF!!!
Thanks to Mom, gara-gara menu makan dietnya yang oh-so-perfect, gua kelaparan. Good job, Mom. Sekarang gua menjadi weirdo. Superb.
“Apa kamu mau pergi makan? You..know… you can join us… if you want.” Winnie mencoba mencairkan suasana.
“Yeah! Dan gua rasa lu betul-betul perlu makan. Oh, come on. Gua juga kelaparan. Hahahha”
Gua menatap mereka berdua. Tanpa terasa, sepasang sayap tumbuh di belakang tubuh mereka berdua. Dan kami pun melayang menuju rumah makan mie yang terdekat. Bunga-bunga bertebaran di sepanjang jalan. Aroma mie melayang di udara. BRAIN! You SUCKS! STOMACH! You WEIRDO!
“Wow… Candy. Kau mengajak… temanmu?”
Suara itu dengan segera menghancurkan khayalan sialan otak dan perut gua. Thanks.
Paman Han berjalan menghampiri kami dan mengiring kami masuk. Paman Han berkulit putih kecoklatan dengan mata sipit. Tangannya yang keriput menunjukkan usianya yang mendekati 60 tahun. Senyum lebar paman Han membuat gua makin lapar. Oh, omong-omong gua kenal namanya, karena gua merupakan langganannya selama hampir lima tahun.
"Apa kabar paman Han?" sapa gua sambil tersenyum. Theo dan Winnie tampak penasaran dengan hubunganku dengan paman Han tapi mereka tidak segera bertanya.
"Ah! Candy ini sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Hahaha… Nah, siapa anak laki-laki yang keren ini? Apa kau pacar Candy?” Paman Han…-_- “Atau pacar nona yang satu ini?”
“Bukan! Kami hanya teman.” Theo dan Winnie sama-sama membalas candaan paman Han adengan gugup. Mereka. . . *plak*
“Ya…ya… suatu saat nanti…hahhaha…” Paman han menepuk bahu Theo. “Nah, kalian mau makan apa? Ada mie hokkien, mie ramyun, mie rebus…”
“Aku seperti biasa.” Jawab gua.
“Aku mie ramyun. Dan teh pahit hangat.” Jawab Theo.
“Umm… sama seperti dia.” Jawab Winnie menunjuk ke arah Theo sambil tersenyum.
Mereka… seperti kucing or something… ----
Walau gua belum pernah, lu tahu, sesuatu hal tentang berpacaran, tapi gua merasakan atmosfirnya yang nyata dan membuat perut gua bergejolak. Mereka layaknya sepasang kekasih, tapi mereka bukan, maksudku gua sama sekali gak tahu apakah mereka pasangan. Dan, yeah, gua gak mengetahui apapun. Mereka sangat-sangat terlihat saling menyukai terutama bagian malu-malu mau mereka yang sangat terlihat ketara--- OHMYGODD!!! Gua terdengar begitu lebay alay dan jijay deh. -_-
Okey. Jujur, mereka membosankan. Gua gak disini. Anggap aja gua cuma sebongkah gentong yang bisa ditendang setiap saat. Mereka mengacuhkan gua. Thanks.
Gua tersedak ketika Winnie tiba-tiba dengan ramahnya menanyakan keadaan gua setelah peristiwa kabur-saat-mereka-sedang-on-air itu. Winnie, I know you are pretty, but right now, gua bener-bener ingin menusuk-nusuk lu dengan sumpit supaya lu mengganti topik. Tapi keluguan dari wajahnya membuat gua sedikit lebih terbuka. What the hell is wrong with me…?
“Gua baik-baik aja. Bagaimana denganmu, maksudku, kalian berdua?”
Theo hanya tersenyum singkat memberikan isyarat bahwa dia lega.
“Jadi kenapa lu lari waktu itu?”
Sekarang giliran Theo yang ingin gua tusuk.
“Kalian…ehm… terkenal! Yeah! Dan gua tersanjung akan hal itu!” Kata gua seraya meminum jus markisa gua yang sudah datang tadi.
“Kamu begitu dramatis. Aku tidak pernah melihat seseorang seperti dirimu!” ujar Winnie.
Thanks. Apa itu pujian atau ejekan?
Theo lalu berbicara.
“Candy… Gua rasa sangat familier dengan namamu.” Gua merasakan hembusan angin di leher gua.
“Gua merasa pernah dekat dengan lu.” Dan jantung gua berdetak kencang.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Gua pun menelan ludah.
Apa itu sebuah rayuan murahan? Ha ha ha. …
“Tidak.” Jawab gua.
Mie pun datang dan kami menyantapnya dalam diam. Setelah habis dengan makanannya, Winnie mengingatkan bahwa mereka berdua harus segera pergi. Theo pun membayar makanan kami, dan mereka pergi. Gua masih tetap berada di tempat itu dan duduk di tempat yang sama seperti tadi, merenungkan sesuatu.
**
"Yo! Gimana kabar lu? In 24 hours?" Sapa Juli sambil terkikik.
Dia tetap terlihat manis dengan kemeja polos dan jeans. High-heels yang dia pakai membuat suara memekik di atas lantai keramik saat dia berjalan mengampiriku.
Kami duduk di kursi paling ujung di Starbucks café. Tidak banyak orang yang datang ke Mall saat itu. Juli digantikan oleh staffnya yang terpercaya untuk datang mendengarkan keluhan gua.
“So… who is the man?” tanya juli dengan nada centilnya. “Gua gak sabar menanti semua cerita lo… Lihat, deh, panda eyes gua!” sambungnya lagi sembari menunjukkan kantung matanya yang benar-benar kinclong tanpa sebutir flek hitam.
Gua pun menceritakan kisah gua… Once upon a time… #eh
“Lu masih ingat Mr.T?” tanya gua, berharap dia masih ingat sehingga gua gak perlu menghabiskan ludah gua untuk bercerita kembali siapa Mr.T itu.
Juli menyipitkan matanya lalu menepuk tangannya.
“O! Mr.T? Cowok yang pakai kacamata aneh itu, yang…” Juli berhenti lalu memicingkan matanya lagi. “…Dia, kenapa?”
Gua menyeruput Chocolate Cream Chip yang sudah gua pesan tadi sebelum menjawab Juli.
“Gua ketemu dia lagi. Semalam…”
Dan gua pun menceritakan semua kejadian semalam, mulai dari saat gua bertabrakan dengan Theo, sampai ke waktu gua makan bersama mereka lagi di restoran pinggir jalan. Juli tampak serius mendengar segala upacan gua.
“Jadi… hah… lu ketemu dia, lagi.”
“… iya…”
“Can-chan…”
Juli memegang tangan gua dengan erat, matanya melihat jauh ke dalam mata gua.
“Lu…harus pindah ke rumah gua!”
… Juli kembali mengeratkan pegangan tangannya.
“Gimana kalo lu bener-bener diet? Untung aja kalau dia gak kenal dengan lu. Can-chan, kalau dia recognize lu dalam keadaan yang seperti ini… Bukannya itu sebuah disgrace buat lu? Dia bakal meremehkan lu… atau… yah… It’s a disgrace…”
“Jadi…?”
“Lu harus berubah.”
“Untuk…?”
“Revenge…?”
//
I once asked him one question while the other thousand still spun around my head with bullet speed. . .
And then he answered me."Why do you ask? If I was about to tell you, would you be able to think my decision logically?"
NEXT CHAPTER
>>Author Note: Thanks for reading this weirdo story. XDDDD FYI, The next chapter would be the "gay"-est thing that occur on the story. Heheheh Please do wait for it. LOL. XP. Bye... *plokplokplok* *lightoff* <<
0 comments